IMG-LOGO
Home Sejarah Ketika Laut Menelan Kota, Sejarah dan Fakta Ilmiah di Balik Tsunami Ambon 1674
sejarah | umum

Ketika Laut Menelan Kota, Sejarah dan Fakta Ilmiah di Balik Tsunami Ambon 1674

oleh VNS - 02 November 2025 13:38 WITA
IMG
Langit malam pada Sabtu, 17 Februari 1674, berubah menjadi mimpi buruk bagi warga Ambon. Foto:Ist

IDENESIA.CO - Langit malam pada Sabtu, 17 Februari 1674, berubah menjadi mimpi buruk bagi warga Ambon.

Sekitar pukul 19.30 waktu setempat, bumi berguncang keras. Tanah bergelombang seperti ombak, dan suara dentingan lonceng di Kastil Victoria menggema di udara tanpa ada yang membunyikan. Dalam hitungan menit, laut yang tenang tiba-tiba berubah menjadi dinding air raksasa setinggi hampir 100 meter, meluluhlantakkan seluruh pesisir Pulau Ambon.

Peristiwa tersebut menjadi salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah Nusantara. Catatan mengerikan itu diabadikan oleh Georg Eberhard Rumphius, seorang ilmuwan botani asal Jerman yang menjadi saksi hidup tragedi.

Dalam catatannya yang termasyhur, Herbarium Amboinense, Rumphius menulis bagaimana malam itu berubah menjadi kiamat kecil di Tanah Maluku.

“Tanah bergerak naik turun seperti lautan,” tulisnya.

Warga panik. Tentara VOC yang berjaga di benteng berlari menuju lapangan bawah, mengira tempat itu lebih aman. Namun, tanpa disadari, mereka justru menuju arah maut.

Beberapa menit kemudian, laut mendadak surut, lalu muncul suara gemuruh yang mengguncang dada. Ombak setinggi gedung 30 lantai datang menghantam daratan. Rumah, benteng, dan perkampungan tersapu bersih.

“Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui rumah dan menyapu bersih desa. Batu karang terlempar jauh ke pedalaman,” kenang Rumphius dalam tulisannya.

Dari ribuan jiwa yang hilang malam itu, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius sendiri, hanya sedikit yang sempat menyelamatkan diri dengan berlari ke perbukitan. Dalam catatannya, ia menyebut 2.322 orang tewas di Ambon dan Pulau Seram akibat gempa dan tsunami tersebut.

Rumphius lahir di Hanau, Jerman, pada 1 November 1627. Ia datang ke Ambon tahun 1653 bersama armada dagang VOC, mula-mula sebagai serdadu, lalu beralih menjadi peneliti alam.

Di usia 40-an, ia kehilangan penglihatannya akibat penyakit, namun tetap menulis dan meneliti dengan semangat luar biasa.

Karyanya Herbarium Amboinense bukan hanya kumpulan deskripsi botani, tetapi juga testimoni sejarah dan sains dari Ambon abad ke-17. Ia menulis kisah tragedi itu bukan sekadar untuk mengenang keluarganya, tetapi juga untuk mendokumentasikan kedahsyatan alam Nusantara.

“Saya kehilangan segalanya malam itu rumah, keluarga, dan banyak sahabat. Namun saya harus menulis agar dunia tahu betapa dahsyatnya kekuatan bumi ini,” demikian salah satu kalimat reflektif Rumphius yang kemudian dikenal luas di kalangan ilmuwan.

Lebih dari tiga abad kemudian, para ilmuwan Indonesia menelusuri kembali kisah Rumphius dengan pendekatan geologi modern.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), peristiwa Ambon 1674 merupakan tsunami tertua yang tercatat dalam sejarah Indonesia.

“Gempa Ambon 1674 adalah gempa dan tsunami dahsyat pertama dalam catatan sejarah Nusantara,” ungkap Daryono, Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, dalam webinar peringatan tragedi tersebut (18 Februari 2025).

Berdasarkan analisis seismik modern, gempa yang memicu tsunami tersebut diperkirakan berkekuatan Magnitudo 7,9.

Namun, gelombang setinggi hampir 100 meter tidak mungkin hanya dihasilkan oleh gempa biasa. Daryono menjelaskan bahwa bencana ini juga disebabkan oleh longsor besar di dasar laut Ambon, yang menambah tinggi gelombang secara ekstrem.

“Kalau dibandingkan dengan tsunami Flores 1992 atau Aceh 2004, magnitudo gempa memang tak jauh berbeda. Tapi ketinggian gelombang Ambon 1674 jauh lebih ekstrem. Itu menunjukkan bahwa longsor bawah laut berperan besar,” terangnya.

Selain tsunami, fenomena likuifaksi ketika tanah kehilangan kekuatannya dan berubah seperti lumpur cair juga terjadi, sesuai dengan catatan Rumphius tentang tanah yang bergerak naik turun seperti lautan.

Tragedi 1674 menjadi pengingat bahwa Indonesia negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia menyimpan potensi bencana serupa di masa depan. BMKG menilai bahwa pemahaman tentang sumber tsunami perlu diperluas, sebab tidak semua tsunami dipicu oleh gempa besar.

“Banyak tsunami besar modern seperti di Palu 2018 dan Selat Sunda 2018 juga disebabkan oleh longsor bawah laut. Ini menunjukkan kompleksitas sumber tsunami di wilayah kepulauan,” ujar Daryono.

Kisah Rumphius pun kini menjadi bahan penting dalam penelitian kebencanaan dan edukasi mitigasi bencana. Dari catatan seorang ilmuwan buta di abad ke-17, dunia belajar tentang bahaya alam, pentingnya kesiapsiagaan, dan keharusan hidup selaras dengan bumi.

Lebih dari 350 tahun berlalu, jejak tragedi itu masih hidup di memori masyarakat Maluku. Di balik kehancuran yang pernah melanda, tersimpan pelajaran bahwa alam bisa memberi kehidupan dan merenggutnya dalam sekejap.

Rumphius menulis bukan untuk menakuti, tapi untuk mengingatkan. Bahwa laut yang memberi kehidupan juga menyimpan amarah. Dan bahwa pengetahuan, catatan, dan kewaspadaan manusia adalah benteng terakhir menghadapi murka alam.

(Redaksi)