IMG-LOGO
Home Nasional Langkah Nyata Pemkot Samarinda Tekan Kasus TBC dan HIV/AIDS Lewat Payung Hukum Baru
nasional | umum

Langkah Nyata Pemkot Samarinda Tekan Kasus TBC dan HIV/AIDS Lewat Payung Hukum Baru

oleh VNS - 29 Oktober 2025 04:47 WITA
IMG
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2PA) Dinkes Samarinda, Nata Siswanto. Foto:Ist

IDENESIA.CO - Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda terus menunjukkan komitmen kuat dalam melindungi warganya dari ancaman penyakit menular berisiko tinggi, terutama tuberkulosis (TBC) dan HIV/AIDS. Dua penyakit ini selama bertahun-tahun menjadi tantangan kesehatan masyarakat yang membutuhkan penanganan komprehensif lintas sektor.


Melalui Dinas Kesehatan (Dinkes), Pemkot Samarinda kini tengah merumuskan langkah strategis dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanggulangan Penyakit TBC dan HIV/AIDS. Raperda ini diinisiasi oleh Panitia Khusus (Pansus) 4 DPRD Samarinda, dan menjadi tonggak baru dalam memperkuat regulasi daerah untuk mempercepat eliminasi penyakit menular.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2PA) Dinkes Samarinda, Nata Siswanto, mengungkapkan bahwa pembahasan Raperda telah memasuki tahap dengar pendapat antara DPRD dan perangkat daerah. Tujuannya untuk memastikan regulasi ini mampu menjawab tantangan nyata di lapangan.

“Pertemuan ini kami lakukan untuk memberikan masukan kepada DPRD dalam rangka pembentukan peraturan daerah tentang penanggulangan TBC dan HIV/AIDS di Samarinda,” jelas Nata.

Menurutnya, pembentukan Raperda bukan hanya soal administrasi, tetapi bagian dari upaya strategis menekan angka kasus TBC dan HIV yang masih tinggi. Secara nasional, Indonesia menduduki peringkat kedua kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, dan fenomena itu juga terlihat di Samarinda.

Namun, peningkatan kasus bukan berarti kegagalan program, justru menandakan deteksi dini semakin efektif dilakukan.

“Semakin banyak yang terdeteksi, artinya semakin banyak yang bisa diobati. Ini langkah positif, karena kalau kita tahu siapa yang sakit, maka pengobatan bisa dilakukan sampai tuntas,” tambahnya.

TBC dikenal sebagai penyakit yang bisa sembuh total jika pasien mengikuti pengobatan dengan disiplin minimal enam bulan. Namun, masa pengobatan yang panjang kerap membuat pasien kehilangan motivasi.

“Angka kejenuhan penderita TBC cukup tinggi. Banyak pasien yang berhenti minum obat di tengah jalan. Padahal, TBC bisa sembuh seratus persen asalkan pengobatan dilakukan secara teratur dan sampai selesai,” tegas Nata.

Dinkes Samarinda telah memastikan obat-obatan TBC tersedia gratis di seluruh fasilitas kesehatan. Meski begitu, tantangan berikutnya muncul dari lingkungan pasien. Risiko penularan tinggi kerap terjadi di dalam rumah, terutama kepada keluarga yang sering berinteraksi langsung dengan penderita.

Untuk menekan risiko itu, Dinkes menerapkan Terapi Pencegahan TBC (TPT) bagi anggota keluarga yang tergolong kontak erat.

“Penularan bisa terjadi di rumah. Karena itu, kami berikan terapi pencegahan bagi keluarga pasien, bukan untuk yang positif, tapi agar tidak tertular,” ujarnya.

Penanganan TBC dan HIV/AIDS di Samarinda tidak berdiri sendiri. Dinkes menggandeng banyak pihak, termasuk Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) serta Dinas Tenaga Kerja, untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan mendukung pemulihan pasien.

Salah satu bentuk sinergi adalah program bedah rumah atau perbaikan ventilasi bagi penderita TBC yang tinggal di rumah dengan sirkulasi udara buruk.

“Rumah penderita TBC perlu sirkulasi udara yang baik. Karena itu, kami berkoordinasi dengan Dinas Perkim untuk memperbaiki ventilasi rumah agar mendukung kesembuhan pasien,” jelasnya.

Selain itu, seluruh puskesmas di Samarinda kini aktif melakukan deteksi dini, sementara beberapa klinik swasta juga dilibatkan untuk memperluas jangkauan pelayanan.

“Kami ingin deteksi dini mudah diakses. Masyarakat bisa periksa di puskesmas, rumah sakit, atau klinik mitra Dinkes,” kata Nata.

Selain TBC, HIV/AIDS juga menjadi perhatian utama. Dinkes Samarinda mencatat adanya peningkatan kasus dalam beberapa tahun terakhir, dengan sebagian besar berasal dari kelompok berisiko tinggi seperti pengguna jarum suntik narkoba dan hubungan sesama jenis (LSL).

“Penyebab HIV bukan hanya hubungan seksual bebas, tapi juga penggunaan jarum suntik dan perilaku sesama jenis, yang datanya cukup dominan di Samarinda,” ungkap Nata.

Untuk mencegah penularan, Dinkes menggencarkan kampanye edukasi, sosialisasi kesehatan reproduksi, dan promosi perilaku hidup sehat. Upaya ini dilakukan bersama Dinas Pariwisata dan Dinas Tenaga Kerja, terutama di kawasan hiburan malam dan area dengan potensi risiko tinggi.

Namun, kata Nata, deteksi dini dan pengobatan saja tidak cukup tanpa perubahan perilaku.

“Kami bisa mendeteksi dan mengobati, tapi perubahan perilaku tetap di tangan individu. Karena itu, edukasi dan kesadaran pribadi menjadi kunci,” tegasnya.

Dengan terbentuknya Perda Penanggulangan TBC dan HIV/AIDS, Pemkot Samarinda berharap program yang selama ini berjalan bisa semakin terarah dan berkelanjutan. Perda tersebut nantinya akan memperkuat koordinasi lintas sektor, menjamin ketersediaan obat, menghapus stigma sosial terhadap penderita, dan memberikan dasar hukum untuk tindakan promotif dan preventif di tingkat masyarakat.

“Kita butuh payung hukum agar program penanggulangan ini bisa berjalan maksimal. Dengan Perda, semua pihak memiliki peran jelas dan bisa bergerak serempak,” kata Nata.

Ia menegaskan bahwa TBC dan HIV bukan hanya persoalan medis, melainkan isu sosial yang membutuhkan solidaritas seluruh lapisan masyarakat.

“Kalau kita tahu siapa yang sakit, kita bisa bantu obati. Tapi kalau tidak tahu, penyakit itu bisa menyebar tanpa kendali. Jadi kuncinya adalah deteksi dini dan kesadaran untuk berobat sampai tuntas,” tutupnya.

(Redaksi)