IDENESIA.CO - Kisah hidup Letnan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, atau yang dikenal dengan nama Hemedti, adalah potret perubahan ekstrem yang lahir dari kekacauan dan ambisi.
Dari penggembala unta sederhana di padang pasir Darfur, kini ia menjelma menjadi tokoh paling ditakuti di Sudan, pemimpin paramiliter Rapid Support Forces (RSF) yang dituduh dunia melakukan pembantaian massal terhadap ribuan warga sipil di kota El-Fasher.
Nama Hemedti mencuat ke permukaan bukan karena prestasi militernya semata, melainkan karena reputasi pasukan yang ia pimpin, RSF yang dikenal brutal dalam konflik internal Sudan. Laporan lembaga kemanusiaan menyebut sekitar 2.000 warga sipil tewas di El-Fasher setelah RSF merebut kota itu dari tangan militer pada Oktober 2025. Tragedi ini mempertegas citra kelam perang saudara Sudan yang belum berakhir sejak tumbangnya Presiden Omar al-Bashir pada 2019.
Namun siapa sangka, jenderal berpengaruh ini dulunya hanyalah seorang penggembala. Hemedti lahir sekitar tahun 1974 dari suku Mahariya, bagian dari komunitas Rizeigat di Darfur. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas tiga sekolah dasar.
Selebihnya, ia menghabiskan masa mudanya sebagai pedagang dan penggembala unta. Hidupnya berubah drastis saat konflik Darfur meletus di awal 2000-an. Ketika kafilah dagangnya diserang dan sekitar 60 anggota keluarganya dibunuh, Hemedti memilih jalan senjata.
Ia kemudian bergabung dengan kelompok milisi Janjaweed , formasi suku Arab bersenjata yang terkenal dengan kekejamannya di Darfur. Keberaniannya di medan perang menarik perhatian Presiden Omar al-Bashir. Pada tahun 2013, milisi Janjaweed direorganisasi menjadi Rapid Support Forces (RSF), dan Hemedti dipercaya sebagai komandannya.
Sejak itu, kariernya melesat. Ia mendapatkan legitimasi resmi, akses ekonomi besar, dan otonomi militer luas. Ia juga berhasil menguasai sejumlah tambang emas di Darfur, yang membuatnya menjadi salah satu figur terkaya di Sudan.
“Seiring meningkatnya popularitasnya, kepentingan bisnis Hemedti berkembang dengan bantuan al-Bashir. Keluarganya memperluas kepemilikan di bidang pertambangan emas, peternakan, dan infrastruktur,” ujar Adel Abdel Ghafar, peneliti Middle East Council on Global Affairs, dikutip dari Al Jazeera.
Meski sempat menjadi sekutu al-Bashir, Hemedti ikut berperan dalam menggulingkan mantan presiden itu pada 2019. Ia lalu menjadi wakil kepala Dewan Militer Transisi, lembaga yang memegang kekuasaan sementara setelah jatuhnya rezim lama. Namun masa transisi menuju pemerintahan sipil gagal. Pada tahun yang sama, pasukan RSF di bawah komandonya dituduh menewaskan lebih dari 100 orang di sebuah kamp demonstrasi di depan Kementerian Pertahanan, tuduhan yang selalu ia bantah.
Tahun 2023, Sudan kembali memanas setelah kegagalan kesepakatan antara militer yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan pasukan RSF. Konflik terbuka pun pecah. Kedua kubu saling menuduh berebut legitimasi atas kekuasaan.
Situasi inilah yang kemudian menyeret Sudan ke dalam perang saudara berdarah, dengan RSF secara bertahap menguasai sebagian besar wilayah barat negeri itu, termasuk kota strategis El-Fasher.
Pada Oktober 2025, RSF berhasil merebut El-Fasher dari tangan militer. Namun kemenangan itu dibayar mahal, ribuan warga sipil tewas. Dunia internasional mengecam keras RSF dan menuntut penyelidikan atas dugaan kejahatan perang. Hemedti tak menolak tuduhan secara langsung, tetapi ia mengeluarkan pernyataan mengejutkan.
Dalam sebuah video di Telegram, ia meminta maaf kepada warga El-Fasher.
“Saya meminta maaf kepada rakyat El-Fasher atas bencana yang menimpa mereka. Kami dipaksa terlibat dalam perang ini, perang ini dipaksakan kepada kami,” katanya.
Ia menegaskan bahwa pembebasan El-Fasher dilakukan demi persatuan Sudan dan menolak citra RSF sebagai pasukan pembunuh.
“Kami adalah rakyat yang cinta damai. Membunuh tentara yang ditangkap dilarang. Sedangkan warga sipil, kalian tidak ada urusan dengan mereka,” ujarnya.
Ia bahkan mengumumkan pembentukan komite akuntabilitas untuk menyelidiki dugaan pelanggaran.
Namun bagi banyak pengamat, langkah itu dinilai sebagai upaya meredam tekanan internasional. Pasalnya, RSF di bawah Hemedti telah lama dikaitkan dengan kejahatan perang sejak era konflik Darfur. Meski Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah menuntut al-Bashir atas genosida, belum ada dakwaan resmi terhadap Hemedti.
Kini, perjalanan hidup Hemedti menjadi simbol kontras ekstrem, dari seorang penggembala unta yang miskin menjadi jenderal kaya dengan kekuasaan luas, namun dibayangi darah ribuan rakyatnya sendiri.
Dalam lanskap politik Sudan yang penuh kekerasan, kisah Hemedti adalah refleksi kelam tentang bagaimana ambisi dan dendam dapat menumbuhkan kekuasaan yang mengorbankan kemanusiaan.
(Redaksi)