IMG-LOGO
Home Nasional Draf Ranperda Lingkungan DPRD Kaltim Dinilai Belum Tajam, Akademisi Minta Sentuh Masalah Nyata Daerah
nasional | umum

Draf Ranperda Lingkungan DPRD Kaltim Dinilai Belum Tajam, Akademisi Minta Sentuh Masalah Nyata Daerah

oleh VNS - 05 November 2025 11:56 WITA
IMG
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Irawan Wijaya Kusuma, menyebut substansi dalam draf ranperda saat ini belum mencerminkan realitas ekologis Kaltim. Foto:Ist

IDENESIA.CO - Upaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (P3LH) mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi dan pemerhati lingkungan.


Mereka menilai, rancangan regulasi yang kini memasuki tahap akhir pembahasan itu belum menyentuh akar persoalan lingkungan khas Kaltim, seperti banjir, deforestasi, lubang tambang terbengkalai, hingga ekspansi perkebunan ilegal yang terus meluas.

Kritik tersebut mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kaltim dan sejumlah akademisi dari Universitas Mulawarman, aktivis lingkungan, serta lembaga swadaya masyarakat, di Samarinda, Senin (3/11/2025).

Forum ini menjadi bagian dari proses penyempurnaan sebelum ranperda diajukan untuk uji publik dan konsultasi ke kementerian terkait.

Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Irawan Wijaya Kusuma, menyebut substansi dalam draf ranperda saat ini belum mencerminkan realitas ekologis Kaltim yang diwarnai kerusakan serius akibat aktivitas ekstraktif selama puluhan tahun.

“Penyusunan ranperda ini harus menjawab tantangan nyata seperti banjir tahunan, deforestasi yang masif, lubang tambang yang belum direklamasi, penurunan kualitas air sungai, hingga perkebunan sawit ilegal yang marak terjadi di hutan lindung,” ujar Irawan, Rabu (5/11/2025).

Menurutnya, pendekatan yang digunakan DPRD seharusnya lebih komprehensif dan berbasis ekosistem.

Ia menjelaskan bahwa setiap wilayah di Kaltim memiliki karakter ekologis yang saling terkait, seperti ekosistem gambut, mangrove, dan DAS Mahakam yang menjadi tulang punggung kehidupan jutaan warga.

“Kebijakan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari konteks ekosistemnya. Kalau kita bicara pengendalian banjir di Samarinda misalnya, itu juga menyangkut pengelolaan hutan di hulu dan kawasan tambang di sekitarnya,” tambahnya.

Irawan juga menilai penyusunan ranperda sebaiknya mengintegrasikan berbagai dokumen perencanaan yang sudah ada, seperti rencana tata ruang wilayah (RTRW), daya dukung lingkungan, dan rencana pembangunan daerah (RPJMD).

Tanpa sinergi, menurutnya, regulasi baru hanya akan menambah tumpang tindih kebijakan antarinstansi.

“Perda ini harus menjadi payung hukum yang menyatukan arah kebijakan. Jangan sampai muncul regulasi baru yang tidak sinkron dengan dokumen perencanaan daerah,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya aspek penegakan hukum dan sanksi yang tegas terhadap pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan. Menurutnya, sanksi administratif saja tidak cukup jika tidak disertai pengawasan kuat dan efek jera yang nyata.

Kritik senada datang dari Yustinus Sapto Hardjanto, pemerhati lingkungan dari Yayasan Bumi Kaltim. Ia menilai, draf ranperda yang disusun DPRD masih bersifat normatif dan kurang merepresentasikan kebutuhan lokal.

“Ketika membaca isinya, belum terlihat program khas Kaltim. Pasal-pasalnya masih sangat umum, mirip dengan perda lingkungan di daerah lain. Belum ada diferensiasi yang menunjukkan karakteristik krisis lingkungan Kaltim,” kata Yustinus.

Menurutnya, semangat penyusunan perda seharusnya lahir dari keprihatinan terhadap kerusakan ekologis yang akut, bukan sekadar penyesuaian terhadap regulasi nasional.

Ia menilai masih ada kesenjangan besar antara konsep hukum dalam teks dan kondisi lapangan.

“Perda ini berangkat dari keprihatinan, tapi belum sampai menjawab akar persoalan di lapangan,” tegasnya.

Salah satu sorotan utama dari Yustinus adalah minimnya peran aktif pemerintah daerah dalam pengawasan dan penegakan aturan lingkungan.

Ia menilai, selama ini pemda sering bersembunyi di balik alasan keterbatasan kewenangan ketika menghadapi kasus pencemaran berat atau perusakan kawasan hutan.

“Padahal ketika sungai tercemar atau masyarakat terkena dampak tambang, pemerintah daerah tetap punya tanggung jawab moral dan administratif untuk mengendalikannya,” ujarnya.

Yustinus juga mencontohkan banyak kebijakan daerah yang justru kontraproduktif terhadap upaya pemulihan lingkungan, seperti proyek normalisasi sungai yang justru memperparah sedimentasi dan mempersempit sempadan alami.

“Hal-hal seperti ini mestinya diatur tegas dalam perda agar tidak ada lagi program pemerintah yang merusak alam atas nama pembangunan,” imbuhnya.

Meski kritik tajam dilontarkan, para akademisi dan pemerhati lingkungan tetap mengapresiasi langkah DPRD Kaltim yang membuka ruang dialog dan partisipasi publik dalam penyusunan perda ini.

Bagi mereka, keterlibatan masyarakat dan kalangan kampus merupakan syarat utama lahirnya regulasi yang relevan dan implementatif.

“Kita ingin perda ini tidak berhenti sebagai dokumen administratif, tapi benar-benar menjadi alat perubahan,” kata Irawan.

Ranperda P3LH diharapkan dapat menjadi fondasi bagi pengelolaan lingkungan berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan kelestarian sumber daya alam.

Hal ini penting mengingat Kaltim kini berada dalam posisi strategis sebagai wilayah penyangga utama Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Kaltim membutuhkan visi hijau yang kuat. Perda ini bisa menjadi momentum menuju arah baru kebijakan lingkungan yang berpihak pada kelestarian,” ujar Yustinus.

Tahap penyusunan Ranperda P3LH masih akan berlanjut dengan uji publik dan konsultasi bersama kementerian terkait sebelum ditetapkan menjadi perda definitif.

DPRD Kaltim berjanji akan menampung semua masukan dan melakukan penyempurnaan draf agar lebih tajam dan aplikatif.

Bagi para pemerhati, regulasi ini diharapkan menjadi perisai hijau Kaltim sebuah instrumen hukum yang tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi juga mampu menegakkan keadilan ekologis di lapangan.

“Kita butuh perda yang hidup, yang melindungi manusia dan alam secara seimbang,” tutup Irawan.

(Redaksi)