IDENESIA.CO - Pemerintah Inggris mengambil langkah diplomatik berani dengan merilis nota kesepahaman baru bersama Otoritas Palestina yang menegaskan dukungan kuat terhadap solusi dua negara (Two-State Solution) berdasarkan perbatasan tahun 1967. Nota tersebut mencakup penolakan eksplisit terhadap pendudukan ilegal Israel atas wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur.
Langkah ini diumumkan menjelang Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2025, di mana Inggris direncanakan secara resmi mengakui keberadaan negara Palestina sebagai entitas berdaulat. Jika terealisasi, Inggris akan menjadi salah satu negara G7 pertama yang mengambil sikap tersebut, menyusul Prancis yang telah menyatakan komitmen serupa pada 24 Juli lalu.
Dalam dokumen resmi yang dirilis pemerintah Inggris, ditegaskan bahwa Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur harus disatukan kembali di bawah satu otoritas tunggal. “Inggris mengakui hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri, termasuk hak atas negara merdeka,” bunyi pernyataan dalam nota tersebut.
Nota ini juga menekankan peran penting Otoritas Palestina dalam masa depan Gaza, mencakup aspek tata kelola, keamanan, hingga pemulihan pasca-konflik. Inggris sebelumnya telah menyerukan penghapusan kekuasaan Hamas di wilayah tersebut, menyatakan bahwa kelompok itu tidak dapat menjadi bagian dari solusi jangka panjang.
Di sisi lain, kebijakan ini memperlebar jurang diplomatik antara London dan Tel Aviv. Pada Juni 2025 lalu, Inggris telah menjatuhkan sanksi terhadap dua menteri Israel, yakni Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, atas pernyataan-pernyataan mereka yang dinilai menghasut kekerasan terhadap warga Palestina.
Ketegangan meningkat setelah parlemen Israel pada 23 Juli mengesahkan mosi tidak mengikat yang menyerukan pencaplokan penuh terhadap Tepi Barat. Hanya berselang beberapa hari, pada 4 Agustus, sumber dalam pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Israel kini mempertimbangkan pendudukan total terhadap Jalur Gaza, dengan ekspansi operasi militer hingga ke wilayah barat Kota Gaza dan kamp-kamp pengungsi.
Dalam nota kesepahaman tersebut, Inggris turut menyerukan pelaksanaan pemilu umum yang inklusif di seluruh wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur dan Gaza. London juga secara tersirat menolak usulan Amerika Serikat terkait pengambilalihan Gaza oleh pihak ketiga, dan justru menekankan perlunya rekonstruksi yang dipimpin langsung oleh rakyat Palestina sendiri.
Menanggapi kebijakan Inggris, Kantor Perdana Menteri Israel mengeluarkan pernyataan melalui platform media sosial X (sebelumnya Twitter), menyebut bahwa langkah Inggris sebagai “hadiah untuk terorisme biadab Hamas” dan memperingatkan bahwa “negara jihad di perbatasan Israel hari ini akan menjadi ancaman bagi Inggris besok.”
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu masih menghadapi tuntutan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama karena penggunaan kelaparan sebagai senjata dalam konflik di Gaza.
Langkah Inggris ini diyakini akan membawa dampak signifikan terhadap dinamika geopolitik Timur Tengah dan memperkuat tekanan internasional terhadap Israel untuk segera menghentikan pendudukan ilegal serta membuka jalan bagi solusi damai yang adil bagi rakyat Palestina.
(Redaksi)