IDENESIA.CO - Upaya reformasi di tubuh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dinilai menjadi langkah mendesak untuk mendorong transparansi dan integritas dalam tata kelola perusahaan milik pemerintah daerah. Penguatan pengawasan, pembenahan sistem seleksi pejabat, hingga penerapan standar anti-penyuapan internasional menjadi sejumlah rekomendasi utama.
Hal ini disampaikan oleh akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menanggapi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kajian Transparency In Corporate Reporting (TRAC) tahun 2023 yang menunjukkan masih lemahnya kebijakan antikorupsi di BUMD berbagai daerah.
“Jika ingin menjadikan BUMD sebagai ujung tombak pembangunan daerah yang profesional dan bersih, maka reformasi kelembagaan harus dijalankan secara menyeluruh,” ujar Herdiansyah dalam keterangan tertulis, Kamis (17/7/2025).
Menurutnya, banyak BUMD masih terjebak dalam transaksi politik dan ekonomi akibat lemahnya akuntabilitas serta pengaruh kuat aktor politik. Di sisi lain, mekanisme pengawasan internal juga tidak berjalan optimal, menjadikan celah bagi praktik korupsi.
Laporan TRAC yang mengkaji BUMD di lima provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur mengungkapkan bahwa 91 persen belum memiliki kebijakan larangan "trading in influence" dan seluruhnya belum menerapkan kebijakan "revolving door".
Melihat kondisi tersebut, Herdiansyah mendorong adanya peta jalan reformasi antikorupsi yang konkret di tubuh BUMD. Ia merekomendasikan antara lain:
Penguatan regulasi dalam proses seleksi pejabat BUMD.
Pembentukan unit pengawas internal dan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) yang kredibel.
Penerapan ISO 37001:2016 terkait Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP).
Penyusunan kode etik menyeluruh bagi seluruh elemen dalam BUMD, termasuk mitra kerja.
“Tanpa instrumen pengawasan yang kuat dan budaya integritas yang tertanam, maka potensi penyalahgunaan wewenang dalam BUMD akan terus berulang,” tegasnya.
Data KPK memperkuat urgensi reformasi ini. Sejak 2004 hingga 2023, pengadaan barang dan jasa menjadi ranah korupsi tertinggi kedua setelah suap. Di sektor BUMD, pola serupa terjadi mengingat banyaknya proyek bernilai besar yang mereka kelola.
Selain itu, BUMD juga berada pada peringkat keempat tertinggi dalam penerimaan gratifikasi, dengan jumlah 822 kasus. Ini menunjukkan betapa pentingnya membangun sistem pencegahan dan pengawasan yang mampu meminimalisir penyimpangan.
Herdiansyah menekankan bahwa pembenahan tidak cukup dilakukan dari dalam, tapi juga perlu melibatkan kontrol publik dan peran aktif lembaga independen sebagai pengawas eksternal.
“Membangun BUMD yang berintegritas harus dimulai dari niat politik yang bersih, sistem yang transparan, dan pengawasan yang inklusif,” tutupnya.
(Redaksi)