IDENESIA.CO - Sejarah mencatat, para pendiri bangsa Indonesia sejak awal telah menunjukkan sikap tegas terhadap negara Israel. Meskipun menjalin hubungan dengan berbagai negara setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia tidak pernah sedikit pun tertarik untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang dideklarasikan di tanah Palestina pada tahun 1948.
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Bahkan, ketika Perdana Menteri Israel pertama, David Ben Gurion, mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno untuk mengucapkan selamat atas kemerdekaan Indonesia dari Belanda, surat itu tak pernah digubris. Tujuan dari surat tersebut tak lain adalah keinginan Israel untuk membuka kantor konsulat di Indonesia.
Menurut kutipan dari Buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, Presiden Sukarno tidak pernah membalas surat dari pemimpin tertinggi negara Zionis itu. Sikap ini menjadi landasan awal politik luar negeri Indonesia.
Upaya Israel untuk menjalin hubungan dengan Indonesia terus berlanjut. Pada Januari 1950, Menteri Luar Negeri Israel, Moshe Sharett, mengirimkan telegram kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Isi telegram tersebut menyatakan pengakuan penuh Israel terhadap kedaulatan Indonesia.
Namun, seperti yang diungkap dalam jurnal "Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting" (2005) oleh Greg Barton dan Colin Rubenstein, Mohammad Hatta hanya membalas dengan ucapan terima kasih dan tidak pernah menanggapi perihal pembukaan hubungan diplomatik.
Penolakan ini, menurut jurnal tersebut, didasari oleh faktor sosial, politik, dan keagamaan. Sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, ada rasa solidaritas yang kuat terhadap Palestina yang saat itu berada di bawah tekanan Israel.
Sikap para pendiri bangsa yang menolak Israel ini terus dipegang teguh dan menjadi sikap politik luar negeri Indonesia hingga kini. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang paling konsisten membela Palestina dan menentang penjajahan Israel di forum-forum internasional.
(Redaksi)