IMG-LOGO
Home Internasional Genosida Baru di Sudan: RSF Diduga Bunuh 2.000 Warga Sipil di El-Fasher
internasional | umum

Genosida Baru di Sudan: RSF Diduga Bunuh 2.000 Warga Sipil di El-Fasher

oleh VNS - 03 November 2025 10:22 WITA
IMG
Jatuhnya El-Fasher membuat RSF hampir menguasai sepenuhnya wilayah Darfur yang luas. foto: Ist

IDENESIA.CO - El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, menjadi saksi babak paling kelam dalam sejarah modern Sudan. Kota itu kini dikuasai penuh oleh Rapid Support Forces (RSF), kelompok paramiliter yang awalnya merupakan sekutu pemerintah Sudan namun berbalik menjadi musuh paling mematikan sejak pecahnya perang saudara pada April 2023.

Dalam perebutan El-Fasher, RSF dilaporkan membantai sekitar 2.000 warga sipil, sebagian besar berasal dari kelompok etnis non-Arab seperti Fur, Zaghawa, dan Berti.

Tragedi di El-Fasher menandai fase baru perang yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa lebih dari 10 juta warga Sudan mengungsi. Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale bahkan menyebut tingkat kekerasan di kota itu sebanding dengan 24 jam pertama genosida Rwanda pada 1994.

Dari Sekutu Jadi Musuh

RSF bukanlah kelompok baru di Sudan. Organisasi ini lahir dari milisi Janjaweed, pasukan kuda yang dulu digunakan pemerintah Sudan untuk memerangi pemberontak di Darfur pada awal 2000-an. Setelah perang itu, pemerintah Sudan mengesahkan mereka sebagai pasukan paramiliter resmi pada 2013 dengan nama Rapid Support Forces.

Namun, hubungan antara RSF dan militer Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) mulai retak setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir pada 2019. Ketegangan meningkat saat junta militer berkuasa dan RSF, di bawah komando Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, mulai menuntut peran politik yang lebih besar.

Puncaknya terjadi pada April 2023, ketika RSF memobilisasi pasukannya di seluruh negeri dan bentrok dengan militer pemerintah. Sejak itu, perang saudara meletus dan mengubah Sudan menjadi ladang darah.

Ideologi dan Dukungan Asing

RSF menganut ideologi nasionalisme Arab dan anti-Islamisme, dengan kecenderungan supremasi etnis Arab. Kelompok ini kerap menargetkan komunitas non-Arab dengan serangan brutal dan pemusnahan sistematis.

Sejumlah laporan menunjukkan RSF mendapat dukungan dari beberapa kekuatan asing, termasuk Uni Emirat Arab, Chad, dan Israel, meski ketiganya tak mengakui secara terbuka. Kelompok tentara bayaran Rusia, Wagner Group, juga disebut turut membantu RSF dengan pasokan senjata dan pelatihan tempur.

Dukungan eksternal itu menjadikan RSF kekuatan militer yang hampir seimbang dengan SAF. Kini, RSF telah menguasai hampir seluruh wilayah Darfur, dan sebagian besar kota besar di Sudan bagian barat dan selatan.

Tragedi El-Fasher

Selama 18 bulan, El-Fasher dikepung RSF. Puluhan ribu warga terjebak tanpa makanan, air, atau obat-obatan. Ketika kota itu akhirnya jatuh ke tangan RSF, laporan kekejaman pun bermunculan. Video-video yang beredar memperlihatkan puluhan pria tak bersenjata ditembak di jalanan atau tergeletak tewas di sekitar kendaraan terbakar.

Aktivis pro-demokrasi di Sudan membagikan rekaman yang memperlihatkan jenazah berserakan di jalan, sementara rumah-rumah penduduk dibakar habis. Banyak perempuan dan anak-anak dilaporkan diculik atau dipaksa mengungsi.

Laporan Universitas Yale menyebut RSF melakukan “pembersihan etnis sistematis” terhadap komunitas Fur, Zaghawa, dan Berti. Citra satelit memperlihatkan kelompok besar yang diduga tumpukan jasad manusia dengan noda merah menyebar di tanah, tanda kekerasan brutal yang berlangsung cepat dan masif.

“Ini adalah operasi pembersihan dari pintu ke pintu,” tulis laporan Yale. “Para militan mendatangi rumah-rumah dan mengeksekusi warga berdasarkan identitas etnis mereka.”

Dunia Internasional Bungkam

Meski kekejaman RSF telah banyak diungkap media dan lembaga internasional, respons dunia masih sangat terbatas. Dewan Keamanan PBB belum mengambil tindakan tegas, sementara negara-negara besar masih terpecah dalam menentukan sikap terhadap konflik Sudan.

Organisasi kemanusiaan juga menghadapi kesulitan besar untuk menyalurkan bantuan ke wilayah yang dikuasai RSF. Jalur distribusi tertutup dan ribuan warga terpaksa mengungsi ke Chad dan Afrika Tengah dengan kondisi mengenaskan.

Panglima militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengakui pasukannya telah mundur dari El-Fasher “untuk menyelamatkan nyawa prajurit dan warga sipil.” Pengakuan ini sekaligus menandai kekalahan besar pemerintah Sudan dan memperkuat posisi RSF sebagai penguasa de facto Darfur.

Ancaman Perpecahan Sudan

Dengan jatuhnya El-Fasher, RSF kini menguasai seluruh Darfur. Para analis memperingatkan bahwa kondisi ini dapat mengarah pada pemisahan wilayah, seperti yang terjadi di Sudan Selatan pada 2011.

Pakar Afrika Timur dari International Crisis Group, Alan Boswell, memperingatkan dalam laporannya bahwa perang Sudan berisiko memecah negara tersebut menjadi beberapa wilayah dan dapat memicu bencana kemanusiaan berskala genosida jika tidak segera dihentikan. (ICG Report, Agustus 2024).

Sementara itu, Jenderal Hemedti dalam pernyataan resminya mengklaim kemenangan di El-Fasher sebagai “langkah menuju pembebasan penuh Sudan dari penjajahan militer.” Namun bagi rakyat Sudan, kemenangan itu justru membawa ketakutan baru, bahwa negara mereka mungkin tidak akan pernah pulih dari luka yang ditorehkan perang saudara paling berdarah di Afrika ini.

(Redaksi)