IMG-LOGO
Home Nasional Korupsi di Perusda BKS Kembali Menjerat Pejabat Tinggi, SR Jadi Tersangka Baru
nasional | hukum

Korupsi di Perusda BKS Kembali Menjerat Pejabat Tinggi, SR Jadi Tersangka Baru

oleh Vanessa - 13 Februari 2025 11:10 WITA
IMG
FOTO : Dirut PT RPB saat diamankan jajaran Kejakti Kaltim terkait kasus rasuah ditubuh Perusda BKS. (IST)

IDENESIA.CO - Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Perusahaan Daerah (Perusda) Pertambangan Bara Kaltim Sejahtera (BKS) terus berkembang. Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kejati Kaltim) kembali menetapkan satu tersangka baru, yakni Direktur Utama PT RPB, SR.

SR yang menjabat sebagai Dirut PT RPB sejak 2010, diduga terlibat dalam pengelolaan keuangan Perusda BKS yang merugikan negara sebesar Rp 21 miliar pada periode 2017-2020.

Dalam siaran pers yang diterbitkan pada Kamis (13/2/2025), Kasi Penkum Kejati Kaltim, Toni Yuswanto, menjelaskan bahwa penetapan tersangka ini dilakukan setelah tim penyidik mengumpulkan dua alat bukti yang cukup, sesuai dengan pasal 184 KUHAP.

"Penetapan tersangka tersebut, setelah Tim Penyidik memperoleh setidak-tidaknya dua alat bukti yang cukup sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP, terkait keterlibatan tersangka SR dalam perkara dimaksud," jelas Kasi Penkum Toni Yuswanto melalui siaran persnya, Kamis (13/2/2025).

Penetapan tersangka SR ini menjadi yang ketiga dalam kasus tersebut, setelah sebelumnya penyidik menetapkan IGS, Direktur Utama Perusda BKS tahun 2016-2020, serta NJ, Kuasa Direktur CV. ALG, sebagai tersangka.

Penahanan SR dilakukan selama 20 hari ke depan dengan pertimbangan ancaman pidana di atas lima tahun dan potensi tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.

Toni juga memaparkan, bahwa pada tahun 2017 hingga 2019, Perusda BKS yang didirikan pada tahun 2000 ini melakukan kerjasama jual beli batubara dengan lima perusahaan swasta, yang total dana kerjasama mencapai lebih dari Rp 25,8 miliar.

Namun, proses kerjasama tersebut dilakukan tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan peraturan yang berlaku, seperti tanpa persetujuan badan pengawas dan gubernur selaku KPM, serta tanpa adanya proposal dan studi kelayakan yang semestinya.

Akibatnya, kerjasama tersebut gagal dan menimbulkan kerugian negara yang signifikan, yang tercatat sebesar Rp 21.202.001.888, berdasarkan hasil perhitungan dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur.

Kasus ini melibatkan penerapan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, serta pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penyidik Kejati Kaltim berkomitmen untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat dalam kasus ini dan memastikan keadilan bagi negara.

(Redaksi)