IDENESIA.CO - Lima tahun telah berlalu sejak Abraham Accords ditandatangani di Gedung Putih, sebuah perjanjian bersejarah yang menormalisasi hubungan Israel dengan sejumlah negara Arab. Kesepakatan ini mematahkan anggapan lama bahwa perdamaian hanya mungkin tercapai setelah ada solusi dua negara bagi Palestina. Namun, situasi kini berubah drastis setelah serangan 7 Oktober 2023 dan perang di Gaza.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah perjanjian ini masih bisa bertahan?
Para pendukung Abraham Accords menilai kesepakatan tersebut tetap tangguh. Asher Fredman, direktur sebuah lembaga pemikir di Israel, menegaskan bahwa perjanjian itu memberikan manfaat nyata, mulai dari kerja sama intelijen, pertanian cerdas, pengobatan presisi, hingga pariwisata.
Data perdagangan justru menunjukkan lonjakan signifikan meski perang Gaza berkecamuk. Dibandingkan 2023, perdagangan Israel pada 2024 dengan UEA naik 10%, Maroko 40%, dan Bahrain bahkan melonjak 843%. Hubungan dagang dengan Mesir dan Yordania juga mencatatkan peningkatan.
Namun, kekuatan ekonomi tidak menutupi keretakan politik yang semakin nyata. Analis seperti Emily Tasinato dan Burcu Ozcelik menilai agresivitas Israel di Gaza telah mengikis legitimasi moralnya. Serangan Israel di Doha, Qatar, pada 9 September 2025 yang menargetkan pemimpin Hamas menjadi titik balik penting. Aksi itu menempatkan Uni Emirat Arab dan Bahrain dalam dilema diplomatik yang rumit.
Sejak saat itu, tanda-tanda penolakan mulai terlihat. UEA melarang perusahaan pertahanan Israel ikut serta dalam pameran dirgantara, sekaligus mengecam rencana aneksasi Tepi Barat yang dinilai mengancam hubungan bilateral. Di sisi lain, perluasan perjanjian yang semula diharapkan melibatkan Arab Saudi atau negara lain hingga kini tidak terwujud. Menurut pengamat, biaya politik bagi negara Arab untuk bergabung dengan kesepakatan ini kini terlalu tinggi.
Kini, setelah lima tahun berjalan, Abraham Accords berada di persimpangan jalan. Secara ekonomi, kesepakatan ini terbukti kokoh. Namun secara politik, ia menghadapi ujian terberat akibat kebijakan Israel yang semakin agresif. Masa depan perjanjian ini bergantung pada apakah mitra-mitra Arab masih bersedia menyeimbangkan kepentingan strategis mereka dengan tekanan publik yang kian menolak Israel.
(Redaksi)