IDENESIA.CO - Langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menetapkan tarif impor timbal balik ke ratusan negara mulai 5 April 2025 diprediksi akan mengguncang stabilitas perdagangan global.
Keputusan ini bukan hanya memicu kekhawatiran mitra dagang, tetapi juga berpotensi memperlambat ekonomi dunia yang baru mulai pulih dari gejolak geopolitik dan inflasi global.
Di antara negara-negara yang terdampak, Vietnam tercatat sebagai korban tarif terbesar, dengan beban hingga 46 persen, jauh di atas Indonesia (32 persen) dan Singapura (10 persen).
Kebijakan ini diambil di tengah ketegangan neraca dagang yang terus melebar, khususnya dengan negara-negara Asia.
Trump beralasan bahwa kebijakan tarif itu bersifat resiprokal mengacu pada praktik dagang negara mitra yang dinilai memberatkan ekspor AS. Dalam kasus Vietnam, pemerintahan Trump menyebut tarif tersebut sebagai respons terhadap tarif ekspor AS yang diklaim mencapai 90 persen, serta dugaan manipulasi mata uang dan hambatan perdagangan non-tarif lainnya.
"Ini bukan sekadar angka. Kami memastikan perdagangan yang adil dan seimbang. Sudah saatnya negara-negara berhenti mengambil keuntungan dari pasar AS," ujar Trump saat konferensi pers di Gedung Putih, Rabu (2/4) waktu setempat.
Surplus dagang Vietnam terhadap AS yang mencapai US$123 miliar pada 2024 juga menjadi alasan utama lonjakan tarif ini.
Perusahaan-perusahaan global yang mengalihkan rantai produksi ke Vietnam sejak perang dagang AS-China diperkirakan telah memperkuat ketergantungan AS terhadap barang-barang asal Vietnam.
Namun, para analis memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan efek domino.
Harga barang-barang konsumsi seperti mobil, pakaian, dan peralatan rumah tangga diperkirakan melonjak di pasar domestik AS, sementara negara-negara yang dikenakan tarif tinggi bisa membalas dengan kebijakan serupa.
Trump bahkan menetapkan keadaan darurat ekonomi nasional untuk memberlakukan tarif baru, termasuk tarif 25 persen terhadap semua mobil asing.
Langkah ekstrem ini diklaim akan membawa kembali lapangan kerja pabrik ke AS, namun para ekonom menilai potensi dampak jangka pendeknya adalah perlambatan konsumsi dan investasi.
Pasar keuangan global merespons pengumuman tersebut dengan kehati-hatian.
Investor menanti potensi retaliasi dari negara-negara terdampak, sementara sektor industri di AS mulai bersuara soal kekhawatiran rantai pasok dan kenaikan biaya produksi.
Dengan kondisi ini, dunia tampaknya akan menghadapi babak baru dalam ketegangan perdagangan internasional—dengan Trump kembali memainkan kartu tarif sebagai senjata politik dan ekonomi.
(Redaksi)