IDENESIA.CO - Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim akhirnya buka suara terkait alasan negaranya tidak diundang dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Gaza yang digelar di Sharm El-Sheikh, Mesir, pada awal Oktober 2025. Dalam penjelasan resmi di hadapan anggota Dewan Rakyat, Anwar menyebut bahwa Malaysia tidak termasuk dalam daftar undangan karena tidak memberikan dukungan penuh tanpa syarat terhadap rencana perdamaian 20 poin yang digagas Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
“Negara-negara yang diundang adalah mereka yang sepenuhnya mendukung rencana perdamaian 20 poin. Malaysia tidak termasuk karena kami memberikan dukungan bersyarat,” ujar Anwar dalam sesi tanya jawab parlemen, dikutip dari MalayMail, Selasa (14/10/2025).
Anwar menegaskan bahwa Malaysia tidak pernah menolak inisiatif perdamaian apa pun, termasuk yang datang dari Amerika Serikat, tetapi sikap pemerintah Malaysia jelas setiap upaya perdamaian harus menjamin pengakuan terhadap kedaulatan Palestina dan penyelesaian menyeluruh terhadap konflik di wilayah itu.
Menurutnya, dukungan Malaysia terhadap rencana perdamaian hanya akan diberikan jika mencakup penyelesaian atas pendudukan Israel di Tepi Barat, pengakuan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina, serta hak kembali bagi jutaan warga Palestina yang terusir.
“Kami mendukung setiap usaha untuk menghentikan kekerasan dan membangun perdamaian, tetapi dengan syarat yaitu harus menghormati hak-hak rakyat Palestina yang sah,” tegas Anwar.
Ia menambahkan, posisi Malaysia ini mungkin membuat sebagian negara tidak nyaman karena berbeda dengan arus utama diplomasi internasional yang lebih lunak terhadap Israel.
“Sebagian besar negara, termasuk yang hadir di Sharm El-Sheikh, menyatakan dukungan penuh. Namun, kami termasuk di antara sedikit negara yang memberikan dukungan bersyarat,” ujarnya.
Selain menegaskan posisi politik, Anwar juga menyoroti situasi kemanusiaan yang semakin memburuk di Jalur Gaza. Ia menyebutkan bahwa hingga hari Senin (13/10/2025), hanya 167 truk bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke wilayah Gaza, padahal semula 600 truk bantuan dijanjikan oleh komunitas internasional.
“Situasi di Gaza sangat buruk, hampir mencapai titik kelaparan. Warga hidup tanpa cukup air bersih dan listrik, sementara serangan udara terus berlanjut. Karena itu, kami menyatakan bahwa setiap inisiatif perdamaian layak didukung, tetapi harus disertai syarat yang menjamin keadilan,” jelas Anwar.
Ia menegaskan bahwa Malaysia tetap sejalan dengan negara-negara Islam lain seperti Qatar dan Yordania, yang secara konsisten menyerukan penghentian kekerasan, menolak pembunuhan warga sipil, dan menuntut akses penuh bagi lembaga kemanusiaan untuk menyalurkan bantuan ke Gaza.
Dalam pernyataannya, Anwar juga menyampaikan bahwa kelompok Hamas, yang selama ini dianggap sebagai pihak paling keras dalam konflik, sebenarnya telah menyatakan kesediaannya untuk terlibat dalam proses perdamaian, asalkan perjanjian yang dihasilkan memberikan jaminan keadilan dan mengakhiri pendudukan Israel.
“Bahkan perwakilan Hamas yang hadir dalam KTT Sharm El-Sheikh menegaskan bahwa mereka terbuka terhadap upaya perdamaian, tetapi menekankan perlunya penyelesaian yang tuntas dan adil,” ujar Anwar.
Ia menjelaskan bahwa Malaysia menghargai langkah tersebut dan memandangnya sebagai bukti bahwa rakyat Palestina tidak menolak perdamaian, melainkan menuntut solusi yang nyata dan bukan sekadar simbolik.
“Selama ini dunia sering memandang Hamas sebagai hambatan. Tapi faktanya, mereka hanya ingin jaminan keadilan dan pengakuan hak yang selama puluhan tahun diabaikan,” tambahnya.
Sejak masa pemerintahan sebelumnya, Malaysia dikenal sebagai salah satu negara paling vokal dalam mendukung perjuangan Palestina. Di bawah kepemimpinan Anwar Ibrahim, posisi tersebut semakin teguh. Ia menegaskan bahwa Malaysia tidak akan menukar prinsip kemanusiaan dengan keuntungan diplomatik jangka pendek.
Ia juga menambahkan bahwa dukungan Malaysia terhadap Palestina bukan hanya simbol politik, tetapi juga diwujudkan melalui aksi nyata seperti pengiriman bantuan kemanusiaan, dukungan medis, dan kerja sama dengan lembaga internasional.
Anwar menepis anggapan bahwa absennya Malaysia dari KTT Perdamaian Gaza merupakan bentuk pengucilan diplomatik. Menurutnya, ketidakhadiran Malaysia justru menunjukkan bahwa pemerintahnya tidak bersedia mendukung kesepakatan yang dianggap tidak adil bagi rakyat Palestina.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa Malaysia akan tetap memainkan peran aktif dalam isu kemanusiaan dan politik luar negeri di Timur Tengah, dengan menjadi suara bagi rakyat yang tertindas dan memperjuangkan perdamaian yang sejati, bukan semu.
“Kami mendukung usaha apa pun yang dapat segera menghentikan penghancuran dan pembunuhan, terutama terhadap perempuan dan anak-anak, tetapi dukungan itu harus disertai syarat yang menjamin penyelesaian tuntas,” pungkasnya.
Dengan demikian, posisi Malaysia dalam isu Gaza tetap jelas, berdiri di sisi keadilan, kemanusiaan, dan hak rakyat Palestina. Absennya Malaysia di KTT Sharm El-Sheikh bukanlah kelemahan diplomasi, melainkan refleksi dari prinsip yang teguh dan keberanian untuk tidak tunduk pada tekanan geopolitik.
(Redaksi)