IDENESIA.CO - Bank investasi terkemuka DBS Group melalui laporan strategi investasi Chief Investment Office (CIO) kuartal IV tahun 2025 (4Q25) memperingatkan bahwa risiko gagal bayar global berpotensi meningkat apabila tarif suku bunga tinggi terus berlanjut di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Laporan itu menyoroti dinamika kebijakan moneter global, prospek mata uang, dan arah investasi strategis lintas aset untuk menghadapi ketidakpastian di pasar keuangan.
DBS mencatat bahwa di Amerika Serikat (AS), arah kebijakan Federal Reserve (The Fed) masih menjadi pusat perhatian utama pelaku pasar. Setelah beberapa kali menaikkan suku bunga selama dua tahun terakhir untuk menekan inflasi, The Fed kini mulai menunjukkan sinyal kebijakan yang lebih dovish atau cenderung melonggarkan, menyusul tanda-tanda pelemahan di sektor tenaga kerja dan konsumsi.
Sementara itu, di Eropa, European Central Bank (ECB) dinilai mulai mendekati posisi netral, menahan diri dari pengetatan lebih lanjut karena inflasi inti mulai melandai dan pertumbuhan ekonomi kawasan euro melambat. Sebaliknya, Bank of Japan (BOJ) tetap fokus menahan tekanan inflasi domestik dengan menjaga kebijakan moneter ultra-longgar yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.
Di kawasan Asia, lanskap kebijakan moneter menunjukkan perbedaan mencolok. Tiongkok terus menerapkan kebijakan moneter longgar untuk mendukung pemulihan pasca-pandemi dan sektor properti yang masih rapuh. Indonesia dan Thailand berada pada posisi akomodatif, dengan suku bunga stabil untuk menjaga momentum investasi domestik dan konsumsi rumah tangga. Singapura mengalami pelemahan mata uang dan aktivitas perdagangan global, sementara Korea Selatan mengandalkan kebijakan ekspansi fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah pelemahan ekspor teknologi.
DBS memperkirakan Dolar AS (USD) akan cenderung melemah pada akhir 2025 seiring kebijakan pelonggaran The Fed. Sebaliknya, Euro (EUR) dan Dolar Australia (AUD) diprediksi menguat karena dukungan fundamental yang lebih stabil.
Namun, Poundsterling (GBP) dan Yen Jepang (JPY) kemungkinan tetap berada di bawah tekanan akibat kebijakan moneter yang tidak seagresif negara lain. Di sisi Asia, Renminbi (RMB) diproyeksikan menguat secara moderat, sementara Dolar Singapura (SGD) melemah terbatas akibat tekanan perdagangan global.
Dalam konteks aset alternatif, DBS menyoroti emas sebagai instrumen lindung nilai paling efektif terhadap inflasi, pelemahan dolar AS, dan ketidakpastian geopolitik. CIO DBS memperkirakan harga emas dapat mencapai USD 4.450 per ons pada paruh pertama 2026, seiring meningkatnya permintaan investor global terhadap aset aman (safe haven).
Selain itu, infrastruktur privat disebut sebagai salah satu investasi unggulan jangka panjang karena memberikan arus kas stabil dan terlindungi dari inflasi. Sementara itu, hedge fund dan kredit pribadi dinilai tetap menarik karena menawarkan imbal hasil yang tidak berkorelasi langsung dengan pasar saham atau obligasi.
Dalam laporan strateginya, DBS CIO memberikan sejumlah rekomendasi taktis bagi investor untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global menjelang akhir tahun 2025:
Obligasi: Pilih kredit investment grade (IG) dengan kualitas tinggi dan hindari obligasi jangka panjang yang sensitif terhadap perubahan suku bunga.
Saham: Tambahkan eksposur pada sektor teknologi AS serta pasar saham Asia (kecuali Jepang) yang menawarkan valuasi menarik. Gunakan strategi barbell, yaitu menyeimbangkan antara saham berorientasi pertumbuhan dan saham bernilai defensif.
Aset Alternatif: Perkuat portofolio dengan emas, infrastruktur privat, dan aset riil yang mampu menjaga nilai terhadap inflasi.
Diversifikasi: Lindungi portofolio dari potensi penurunan dengan menambah eksposur pada hedge fund dan aset privat yang memiliki volatilitas rendah.
DBS menekankan bahwa strategi diversifikasi lintas aset merupakan kunci menghadapi ketidakpastian global, termasuk risiko geopolitik, perubahan kebijakan fiskal, dan potensi perlambatan ekonomi di AS dan Eropa.
Meski risiko gagal bayar korporasi dan negara berkembang meningkat, DBS tetap melihat peluang di tengah ketegangan ekonomi global. Pelonggaran moneter yang diantisipasi dari The Fed pada 2026, serta optimisme terhadap perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), diyakini dapat menjadi katalis positif bagi pasar saham global, terutama di Asia.
“Investor disarankan untuk tetap waspada, namun tidak pesimis,” tulis laporan DBS CIO.
“Fase transisi suku bunga tinggi ke pelonggaran akan membuka peluang baru, khususnya di sektor teknologi dan infrastruktur berkelanjutan.”
DBS juga menekankan pentingnya manajemen risiko aktif, terutama bagi investor ritel yang rentan terhadap fluktuasi pasar. Dalam konteks ini, menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas dianggap lebih penting dibanding mengejar imbal hasil tinggi semata.
Secara keseluruhan, laporan DBS CIO untuk kuartal IV 2025 menegaskan bahwa dunia investasi tengah berada pada fase transisi kritis dari periode inflasi tinggi dan suku bunga ketat menuju era pelonggaran kebijakan moneter yang hati-hati. Risiko gagal bayar akan meningkat jika suku bunga tinggi berlanjut di tengah melambatnya ekonomi global, sehingga investor perlu mengedepankan kualitas aset, manajemen risiko, dan diversifikasi lintas instrumen.
Dengan kombinasi strategi defensif dan taktis dari obligasi berkualitas hingga investasi emas dan infrastruktur privat DBS menyimpulkan bahwa portofolio yang seimbang dan disiplin akan menjadi kunci menghadapi 2026 dengan percaya diri di tengah ketidakpastian global.
(Redaksi)