IDENESIA.CO - Dari Samarinda, Kalimantan Timur, muncul sebuah suara baru dalam skena musik lokal yang berani menabrak pakem dan menawarkan alternatif segar. Evolve, band pendatang baru asal kota Tepian, resmi meluncurkan single debut mereka yang berjudul "Fantasi Adiksi", sebuah karya yang memadukan nuansa modern alternatif dengan instrumen dan akar musik tradisional Kalimantan. Tak sekadar lagu pembuka karier, Fantasi Adiksi menjadi pernyataan musikal yang kuat. Dalam balutan distorsi khas musik alternatif dan sentuhan magis alat musik tradisional seperti sampe dan suling Dayak, lagu ini menjadi bentuk eksplorasi sonik yang orisinal dan mencerminkan identitas lokal yang kuat. Menurut Deni Junaeli, bassis Evolve, ide awal lagu ini tercetus dari perbincangan ringan setelah latihan malam yang panjang. Seorang anggota band menceritakan tentang seseorang yang terjebak dalam hubungan manipulatif, namun tetap bertahan karena terikat pada "fantasi cinta" yang ia ciptakan sendiri. “Dari situlah muncul istilah Fantasi Adiksi , sebuah kontradiksi yang mewakili ketertarikan terhadap sesuatu yang justru menyakitkan," kata Deni. Melanjutkan ide tersebut, Ayit Abdillah, gitaris Evolve, membayangkan narasi emosional itu dikemas dengan warna suara agresif dan eksperimental. Ia kemudian mengusulkan pendekatan sonik yang berani menyatukan instrumen etnik Kalimantan dengan tekstur musik modern. Pendekatan ini kemudian menjadi landasan utama dalam aransemen dan produksi lagu. “Bukan hanya soal genre atau teknik, tapi bagaimana suara bisa menjadi ruang cerita. Kami ingin musik ini bicara,” ungkap Ayit. Lebih dari sekadar kisah pribadi, Fantasi Adiksi menyoroti persoalan sosial yang lebih luas. Boyonesia, pemain sampeq dan suling, menegaskan bahwa lagu ini menyentuh dinamika relasi yang timpang, pencarian validasi sosial, hingga candu terhadap citra palsu yang dibentuk oleh realitas maya. “Ini simbol dari realitas yang banyak orang alami. Hubungan yang terlihat indah dari luar, tapi menyakitkan dari dalam. Kita sering terjebak di sana karena ilusi yang kita bangun sendiri,” jelasnya. Boyonesia juga menambahkan bahwa Fantasi Adiksi bukan hanya kritik sosial, tetapi juga refleksi dan ajakan untuk lebih jujur pada diri sendiri. “Terutama di era digital sekarang, kita kadang terlalu sibuk membangun citra, sampai lupa bertanya, apa yang benar-benar kita butuhkan dan siapa diri kita sebenarnya?” ujarnya. Proses penciptaan lagu ini dilakukan secara kolaboratif. Semua anggota Evolve terlibat aktif dalam meramu nada, lirik, hingga produksi. Bagi mereka, kerja kolektif bukan hanya strategi kreatif, tapi juga bagian dari nilai yang ingin mereka usung dalam setiap karya. “Kami tidak bekerja berdasarkan hierarki, tapi berdasarkan kepercayaan terhadap kekuatan masing-masing. Semua punya suara, semua punya peran,” tutur Deni. Dengan Fantasi Adiksi, Evolve tidak hanya menghadirkan warna baru dalam musik alternatif Indonesia, tapi juga membuktikan bahwa tradisi dan modernitas bisa menyatu dalam satu ruang bunyi yang jujur, emosional, dan tetap relevan. Sebuah awal yang menjanjikan dari band yang tak hanya ingin terdengar, tapi juga menyampaikan sesuatu. Band ini terdiri dari tujuh personel lintas latar dan karakter musikal: Boyonesia: Sape & Suling (Tenggarong) Cepot Saturnus: Gambus & Violin (Loa Janan) Gege Gracia: Vocal & Background Vocal (Ambon) Ayit Abdillah: Guitar (Samarinda) Deni Junaeli: Bass (Samarinda) Dwi Mustofa: Percussion (Samboja) Muhammad Farand: Drum (Samarinda) Dilansir dari tribunkaltim (Redaksi)