umum | umum
Film Merah Putih: One For All Tuai Kritik, Rating Anjlok di IMDb Hanya 1 Bintang
Film animasi Merah Putih: One For All. Foto:Ist
IDENESIA.CO - Film animasi Merah Putih: One For All yang mulai tayang di bioskop pada 14 Agustus 2025 menuai sorotan tajam dari publik. Alih-alih menjadi kebanggaan, film garapan Perfiki Kreasindo itu justru memicu kontroversi besar dan kritik pedas dari pencinta film tanah air.
Sejak trailer-nya beredar di media sosial, warganet mempertanyakan kualitas animasi serta besaran anggaran produksi yang disebut mencapai Rp6,7 miliar. Perbandingan pun tak terhindarkan dengan Jumbo, film animasi lokal lain yang dianggap jauh lebih memukau.
Puncak kritik terjadi di situs Internet Movie Database (IMDb), platform internasional yang menilai film, serial, hingga konten digital. Hingga Senin (18/8/2025), film ini telah diulas oleh 81 pengguna dan hanya meraih rating 1 dari 10 bintang. Angka tersebut menjadikan Merah Putih: One For All sebagai film animasi Indonesia dengan skor terendah di IMDb.
Salah satu akun pengguna, imdbfan-4069471596, menulis ulasan pedas dengan menyebut film ini sebagai aib nasional perfilman. Ia menilai kualitas animasi, efek visual, hingga pengisi suara berada pada level sangat buruk dan bahkan menyebut film itu tampak belum selesai.
“One For All, ya kita semua sepakat film ini pantas mendapat Satu. Bahkan tugas mahasiswa semester awal lebih baik daripada ini,” tulisnya.
Senada dengan itu, akun lain bernama dedekurniawan-58791 menilai film ini tidak layak disebut film.
“Lebih tepat disebut video brainrot yang seharusnya tidak pernah dirilis. Ini adalah film terburuk di dunia,” ujarnya dalam ulasan di IMDb.
Film Merah Putih One For All disutradarai oleh Endiarto dan Bintang. Ceritanya mengangkat kisah delapan anak dari berbagai daerah di Indonesia yang tergabung dalam Tim Merah Putih. Mereka diberi misi menjaga bendera pusaka menjelang upacara 17 Agustus, namun konflik muncul ketika bendera tersebut hilang tiga hari sebelum peringatan kemerdekaan.
Meski mengusung tema nasionalisme yang seharusnya sarat makna, eksekusi film ini justru menjadi bahan olok-olok publik. Kritik terhadap kualitas teknis dan narasi yang dinilai lemah menjadikan film ini bahan perdebatan, terutama terkait efektivitas penggunaan anggaran yang besar namun tidak sebanding dengan hasil akhirnya.
Dengan capaian rating yang anjlok, film ini kini menjadi sorotan serius dalam diskusi publik mengenai standar produksi film animasi di Indonesia.
(Redaksi)