IDENESIA.CO - Ketegangan di Jalur Gaza kembali meningkat setelah rencana Israel untuk merelokasi penduduk dari Kota Gaza menuai kecaman keras dari kelompok Hamas. Dalam pernyataannya, Hamas menyebut langkah tersebut sebagai gelombang baru genosida dan pengungsian bagi ratusan ribu warga Palestina yang telah lama hidup dalam kondisi krisis kemanusiaan.
Hamas menolak klaim Israel bahwa relokasi dilakukan demi keselamatan warga sipil. Menurut mereka, penyediaan tenda dan perlengkapan tempat tinggal sementara di Gaza selatan hanyalah kedok yang dimaksudkan untuk menutupi kejahatan brutal pasukan Israel.
“Pengerahan tenda dengan dalih kemanusiaan adalah tipuan nyata. Tujuannya untuk mengalihkan perhatian dari rencana penghancuran lebih luas yang sedang dipersiapkan Israel,” demikian pernyataan Hamas yang dikutip dari Reuters dan Al Arabiya, Senin (18/8/2025).
Sebelumnya, militer Israel menyatakan akan memindahkan penduduk dari zona pertempuran di Gaza utara ke wilayah selatan untuk memastikan keselamatan mereka. Langkah ini disebut sebagai bagian dari persiapan serangan baru Israel guna merebut kendali penuh atas Kota Gaza utara, pusat populasi terbesar di wilayah kantong yang kini telah hancur akibat perang.
Rencana ofensif Israel di Gaza utara menimbulkan kekhawatiran serius dari komunitas internasional. Dengan populasi sekitar 2,2 juta jiwa, Jalur Gaza sudah berada di ambang krisis kemanusiaan, di mana infrastruktur rusak parah dan pasokan kebutuhan pokok semakin menipis.
Organisasi kemanusiaan menilai pemindahan massal warga ke Gaza selatan berisiko memperparah penderitaan, sebab wilayah itu sendiri sudah padat dan minim fasilitas memadai untuk menampung tambahan ratusan ribu pengungsi baru.
Di sisi lain, protes besar terjadi di Tel Aviv pada Minggu (17/8) waktu setempat. Puluhan ribu warga Israel turun ke jalan menyerukan diakhirinya perang di Gaza. Massa aksi membawa foto para sandera yang masih ditahan Hamas, mengibarkan bendera kuning, menabuh drum, dan meneriakkan yel-yel menuntut pemerintah segera memulangkan mereka.
“Kami berada di sini untuk menegaskan kepada pemerintah Israel bahwa ini mungkin menit-menit terakhir untuk menyelamatkan para sandera yang telah ditahan Hamas selama hampir 700 hari,” ujar Ofir Penso, seorang guru berusia 50 tahun, kepada AFP.
Protes serupa telah berlangsung rutin selama hampir 22 bulan, sejak serangan besar Hamas pada 2023. Namun, unjuk rasa kali ini dinilai sebagai salah satu yang terbesar, menandakan semakin kuatnya desakan publik Israel terhadap pemerintah untuk segera mengakhiri konflik berkepanjangan.
Dengan pernyataan Hamas dan demonstrasi besar di Israel, situasi konflik Gaza kembali memasuki babak krusial. Upaya Israel untuk menguasai Kota Gaza utara sekaligus rencana relokasi massal penduduk memunculkan dilema: apakah langkah ini benar-benar demi keselamatan warga sipil, atau justru menambah daftar panjang penderitaan di wilayah yang telah dilanda perang hampir dua tahun terakhir.
(Redaksi)