IDENESIA.CO - Kebijakan tarif baru Amerika Serikat yang mencapai hingga 32% terhadap produk Indonesia mulai dirasakan langsung dampaknya oleh pelaku ekspor nasional.
Sektor tekstil, alas kaki, hingga produk kelautan kini terancam kehilangan daya saing di pasar AS—yang selama ini menjadi tujuan utama ekspor.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menyuarakan keprihatinan atas kebijakan tarif resiprokal dari pemerintah AS terhadap Indonesia, yang disebut-sebut sebagai akibat dari defisit perdagangan yang terus melebar.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Luar Negeri Kadin, Pahala Mansury, menegaskan pentingnya langkah cepat dan terukur dari pemerintah untuk meredam dampak ini.
“Kita berharap segera ada negosiasi ulang. Menurut hitungan Kadin dan Dewan Ekonomi Nasional (DEN), tarif yang dikenakan terlalu tinggi dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya,” ujar Pahala.
Produk ekspor unggulan seperti tekstil, udang, minyak sawit, hingga peralatan elektronik kini menghadapi tantangan besar.
Dengan diberlakukannya tarif baru ini, margin keuntungan bisa tergerus, bahkan mengancam kelangsungan ekspor dalam jangka panjang. Dia menilai Indonesia sebenarnya tidak memiliki neraca perdagangan yang begitu besar dibandingkan dengan negara lain.
"Indonesia sebenarnya adalah negara dengan neraca perdagangan positif nomor 15, jadi sebenarnya tidak begitu besar dibandingkan dengan negara-negara lainnya," kata Pahala.
Sebagai informasi, data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan bahwa Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar US$ 14,34 miliar pada Januari-Desember 2024.
Namun, menurut Badan Statistik AS, nilai surplus tersebut lebih tinggi, mencapai US$ 17,9 miliar. Selama lima tahun terakhir, defisit perdagangan AS dengan Indonesia telah melonjak sebesar 67%, dari US$ 8,58 miliar pada 2019 menjadi US$ 14,34 miliar pada 2024.
Pahala menuturkan, Kadin sebagai mitra pemerintah siap memberikan dukungan penuh untuk membawa permasalahan ini ke meja perundingan dengan AS.
"Kadin, sebagai mitra pemerintah mewakili pengusaha RI, akan memberikan dukungan penuh kepada pemerintah RI untuk menyampaikan hal di atas kepada pemerintah AS, sambil juga melihat kemungkinan peningkatan neraca perdagangan dengan AS yang lebih baik ke depannya," lanjut dia.
Adapun kenaikan tarif ini berdampak besar bagi eksportir Indonesia, terutama di sektor tekstil, rajutan, dan alas kaki yang selama ini mengandalkan pasar AS. Produk minyak sawit, udang, ikan, serta peralatan elektrik juga menjadi komoditas unggulan yang terdampak oleh kebijakan baru ini.
Pemerintahan AS di bawah Trump telah menerapkan kebijakan tarif tinggi terhadap berbagai negara yang dianggap merugikan perdagangan AS. Selain Indonesia, negara-negara lain seperti India, Vietnam, dan Uni Eropa juga menghadapi kebijakan serupa.
AS menetapkan tarif dasar 10% untuk semua impor, dengan tarif tambahan untuk negara-negara tertentu yang dianggap melakukan praktik perdagangan tidak adil.
Para pengusaha berharap agar pemerintah RI segera mengambil langkah strategis guna meredam dampak kebijakan ini dan menjaga daya saing ekspor Indonesia di pasar global.
"Apalagi saat ini, Indonesia dianggap dengan kondisi neraca yang lebih baik terhadap AS dibanding negara-negara tetangga seperti Vietnam. Ini bisa jadi kesempatan bagi Indonesia untuk menjadi bagian supply chain/rantai pasok kebutuhan AS," tekannya.
(Redaksi)