IDENESIA.CO - Situasi di Jalur Gaza kembali memanas setelah militer Israel meluncurkan serangan udara ke wilayah Rafah, meski gencatan senjata antara Israel dan Hamas secara resmi masih berlangsung. Serangan ini menimbulkan kecaman keras dari berbagai pihak internasional dan memperlihatkan rapuhnya kesepakatan damai yang baru saja disetujui kedua belah pihak.
Serangan tersebut dilaporkan oleh sejumlah media Israel pada Minggu (19/10), yang menyebut bahwa angkatan udara Israel mengebom beberapa titik di Rafah, kota yang terletak di selatan Gaza dan menjadi salah satu daerah dengan konsentrasi pengungsi terbesar sejak awal konflik.
Kantor berita AFP, mengutip Kan, lembaga penyiaran publik Israel, menyebut bahwa serangan udara Israel diarahkan ke posisi yang diduga milik kelompok bersenjata Hamas, meskipun hingga saat ini belum ada konfirmasi resmi baik dari pihak militer Israel maupun dari Hamas terkait jumlah korban dan target pasti serangan tersebut.
Serangan terbaru ini menambah panjang daftar pelanggaran yang terjadi sejak Amerika Serikat memprakarsai gencatan senjata sementara yang disepakati awal Oktober lalu. Kesepakatan tersebut mencakup penghentian operasi militer, pembukaan akses bantuan kemanusiaan, serta pertukaran sandera antara Israel dan Hamas.
Namun dalam beberapa hari terakhir, kedua pihak saling menuduh telah melanggar perjanjian.
Militer Israel menuding Hamas melakukan serangan ke arah pasukan mereka di Rafah pada Jumat (17/10), meskipun tidak menimbulkan korban.
“Beberapa teroris melepaskan tembakan ke arah pasukan kami di Rafah,” demikian pernyataan resmi militer Israel yang dikutip media setempat.
Sebagai respons, militer Israel mengklaim telah melancarkan serangan balasan terbatas ke posisi kelompok bersenjata di wilayah Khan Younis pada hari yang sama. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa serangan kali ini jauh lebih besar dan tampaknya merupakan operasi udara terkoordinasi yang melibatkan beberapa jet tempur.
Hamas sendiri menolak tudingan tersebut dan menegaskan bahwa Israel justru lebih dulu melanggar gencatan senjata dengan menutup perlintasan Rafah Crossing jalur utama yang menghubungkan Gaza dengan Mesir dan menjadi satu-satunya pintu bagi bantuan kemanusiaan.
Sumber diplomatik menyebut bahwa ketegangan terbaru ini juga dipicu oleh perdebatan soal pemulangan jenazah sandera.
Israel menuntut Hamas menyerahkan 28 jenazah sandera yang diyakini masih berada di wilayah Gaza, sementara Hamas menyatakan proses pencarian dan penggalian sulit dilakukan karena banyak jenazah tertimbun di reruntuhan akibat serangan udara Israel sebelumnya.
Sejauh ini, Hamas telah menyerahkan 20 sandera yang masih hidup dan 12 jenazah yang sudah meninggal dunia. Proses ini dilakukan melalui mediasi Mesir dan Qatar, namun pembicaraan lebih lanjut kini terancam gagal akibat serangan terbaru di Rafah.
“Setiap tindakan militer di tengah gencatan senjata akan merusak seluruh proses diplomatik dan memperburuk penderitaan warga sipil,” kata seorang pejabat Mesir yang terlibat dalam negosiasi damai, dikutip dari Al Jazeera.
Kota Rafah menjadi simbol penderitaan warga Gaza sejak awal agresi militer Israel pada akhir 2024. Wilayah ini menampung lebih dari 1,3 juta pengungsi internal yang kehilangan tempat tinggal akibat pemboman di Gaza utara dan tengah.
Sejumlah rekaman video amatir yang beredar di media sosial menunjukkan ledakan besar dan kepulan asap hitam membubung tinggi dari sisi timur Rafah. Rumah-rumah warga tampak rusak parah, sementara tim medis dari Palang Bulan Sabit Palestina dilaporkan kesulitan mengevakuasi korban karena kondisi jalan yang hancur dan keterbatasan bahan bakar ambulans.
Seorang warga, Mahmoud Al-Khatib (34), mengatakan kepada wartawan AFP bahwa serangan terjadi saat banyak warga sedang beristirahat di tenda pengungsian.
“Kami mendengar suara jet tempur, lalu ledakan besar. Anak-anak berteriak, kami berlari mencari perlindungan. Ini terjadi saat mereka bilang ada gencatan senjata,” ujarnya dengan nada getir.
Serangan udara Israel di tengah gencatan senjata memicu reaksi keras dari berbagai negara dan lembaga internasional.
Juru bicara PBB untuk urusan kemanusiaan, Stéphane Dujarric, menyatakan keprihatinan mendalam atas pelanggaran yang terus terjadi.
“Gencatan senjata seharusnya menjadi waktu untuk menyelamatkan nyawa, bukan kehilangan nyawa baru. Semua pihak harus menahan diri dan menghormati hukum internasional kemanusiaan,” ujarnya di New York.
Sementara itu, Amerika Serikat yang menjadi sponsor utama kesepakatan damai menyerukan klarifikasi segera dari Israel atas laporan serangan tersebut. Pejabat Gedung Putih menyebut bahwa Washington menuntut akuntabilitas dan meminta agar proses gencatan tidak dibatalkan sepihak.
Uni Eropa dan Turki juga mengecam tindakan tersebut, menyebutnya sebagai bukti kegagalan diplomasi kemanusiaan dan menyerukan penyelidikan independen terhadap dugaan pelanggaran gencatan senjata.
Lebih dari 36.000 warga Palestina telah tewas sejak konflik terbaru meletus, sebagian besar di antaranya perempuan dan anak-anak. Ribuan lainnya terluka dan jutaan orang terpaksa mengungsi.
Serangan ke Rafah pada Minggu malam mempertegas bahwa perdamaian di Gaza masih jauh dari harapan. Meskipun diplomasi terus dijalankan, bayangan perang dan penderitaan warga sipil masih menyelimuti langit Palestina.
“Selama senjata masih berbicara lebih keras dari kata-kata, tidak akan ada gencatan senjata sejati,” ujar seorang aktivis kemanusiaan di Gaza dengan nada getir.
(Redaksi)