IMG-LOGO
Home Internasional Media Zionis Sebut Netanyahu Menyerah kepada Hamas, Bongkar Konsesi Besar dalam Perjanjian Damai Gaza
internasional | umum

Media Zionis Sebut Netanyahu Menyerah kepada Hamas, Bongkar Konsesi Besar dalam Perjanjian Damai Gaza

oleh VNS - 14 Oktober 2025 10:43 WITA
IMG
Sebuah laporan mengejutkan datang dari media besar Israel, Yedioth Ahronoth, yang menuding Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah melakukan penyerahan diri sepenuhnya kepada Hamas. Foto:Ist

IDENESIA.CO - Sebuah laporan mengejutkan datang dari media besar Israel, Yedioth Ahronoth, yang menuding Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah melakukan penyerahan diri sepenuhnya kepada Hamas dalam perjanjian damai Gaza yang baru-baru ini disetujui.


Surat kabar itu mengungkapkan bahwa meskipun Netanyahu menetapkan sejumlah syarat ketat untuk mengakhiri perang, ia justru memberikan konsesi besar yang disembunyikan dari publik Israel.

Dalam laporannya, Yedioth Ahronoth menulis bahwa Hamas tidak dilucuti senjatanya, Gaza tidak didemiliterisasi, dan wilayah itu tidak “dibersihkan” secara militer tiga hal yang selama ini menjadi syarat utama Israel sebelum menghentikan serangan.

“Jika syarat-syarat ini penting, mengapa Netanyahu melepaskannya?” tulis media tersebut dalam editorialnya.

Seorang sumber intelijen senior Israel, yang dikutip surat kabar itu, menyebut bahwa perjanjian tersebut memang berhasil dalam hal pembebasan sandera, namun harga politik dan strategisnya sangat mahal.

“Perjanjian itu dianggap sukses secara diplomatik, tapi konsesinya sangat mendalam,” ujar sumber tersebut.

“Publik berhak mendapatkan jawaban jujur atas pertanyaan-pertanyaan besar yang sampai kini belum dijelaskan oleh pemerintah dan tim kampanye Netanyahu,” tambahnya.

Dokumen yang diperoleh Yedioth Ahronoth menyebut bahwa kesepakatan damai Gaza merupakan bagian dari rencana 20 poin Presiden AS Donald Trump untuk menghentikan perang di Jalur Gaza.

Fase pertama dari rencana tersebut mencakup:

  • Pembebasan seluruh sandera Israel oleh Hamas,

  • Pertukaran dengan sekitar 2.000 tahanan Palestina, termasuk 250 narapidana seumur hidup,

  • Serta penarikan bertahap pasukan Israel dari Jalur Gaza.

Fase pertama ini mulai berlaku pada Jumat (10/10/2025) dan telah memicu proses pembebasan sandera Israel sejak Senin (13/10), sebagaimana dikonfirmasi oleh Palang Merah Internasional (ICRC) dan pihak Hamas.

Dalam pernyataannya, Hamas menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen terhadap pelaksanaan kewajiban sesuai perjanjian dan meminta para mediator termasuk Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar memastikan bahwa Israel juga mematuhi kesepakatan tersebut.

Sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, menyebut gencatan senjata itu sebagai hasil dari keteguhan rakyat Palestina dan kekuatan perlawanan.

“Perjanjian ini adalah buah dari keteguhan rakyat kami dan pengorbanan para pejuang di Gaza,” tulis pernyataan resmi Al-Qassam.

“Kami berkomitmen menjalankan setiap tahap kesepakatan, dan berharap pihak Israel juga tunduk pada jadwal yang telah disepakati.”

Presiden AS Donald Trump dalam pengumumannya pada Rabu (8/10/2025) menjelaskan bahwa fase kedua rencana perdamaian Gaza akan mencakup:

  • Pembentukan badan pemerintahan baru di Gaza, tanpa melibatkan Hamas,

  • Penempatan pasukan multinasional,

  • Dan pelucutan senjata Hamas secara bertahap.

Namun, hingga kini belum ada kejelasan bagaimana pelaksanaan tahap kedua itu akan dilakukan, terutama karena Hamas belum menyetujui agenda pelucutan senjata.

Beberapa analis menilai bahwa tekanan politik dalam negeri membuat Netanyahu memilih jalan kompromi agar bisa mengamankan pembebasan sandera dan mengakhiri tekanan internasional, terutama dari Washington.

Laporan Yedioth Ahronoth memicu perdebatan besar di dalam negeri Israel. Banyak kalangan politik dan militer menilai Netanyahu terlalu banyak mengalah, terutama karena Hamas tetap memiliki kekuatan militer dan pengaruh politik di Gaza.

Para pengamat menilai keputusan ini bisa memicu krisis kepercayaan di antara pendukung partai sayap kanan dan komunitas keamanan Israel yang selama ini mendesak agar Hamas dilucuti sepenuhnya.

“Netanyahu mungkin berhasil mendapatkan jeda perang, tapi ia kehilangan wibawa di hadapan rakyatnya,” tulis salah satu kolumnis senior Yedioth Ahronoth.

Sejak konflik pecah pada Oktober 2023, serangan militer Israel di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 67.800 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, membuat wilayah itu nyaris tak layak huni.

Laporan PBB menyebut bahwa 85% penduduk Gaza kini kehilangan tempat tinggal dan bergantung pada bantuan kemanusiaan.

(Redaksi)