IDENESIA.CO - Kasus korupsi yang kembali menyeret pejabat tinggi negara ke meja hukum memantik ingatan publik pada satu peristiwa bersejarah. Terbaru, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (Noel) ditangkap KPK pada 22 Agustus 2025 terkait dugaan pemerasan sertifikasi K3.
Namun, sejarah Indonesia mencatat kasus yang jauh lebih fenomenal: vonis mati terhadap Jusuf Muda Dalam (JMD), Menteri Urusan Bank Sentral era Presiden Soekarno. Hingga kini, ia tercatat sebagai koruptor pertama dan satu-satunya di Indonesia yang divonis mati.
Jusuf Muda Dalam menjabat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral pada 1963-1966. Ia memiliki otoritas besar dalam kebijakan perbankan dan pengelolaan kas negara. Namun, kewenangan itu justru disalahgunakan.
Dalam laporan Anak Penyamun di Sarang Perawan (Skandal JMD) (1966), setidaknya terdapat empat perkara besar yang menyeret namanya:
Memberikan izin impor dengan skema Deferred Payment senilai US$270 juta.
Menyalurkan kredit kepada sejumlah perusahaan hingga menambah defisit negara.
Menggelapkan kas negara atau dana revolusi hingga Rp97,3 miliar.
Menyelundupkan senjata tanpa izin dari Cekoslovakia.
Uang hasil kejahatan digunakan untuk gaya hidup mewah, membeli tanah, rumah, perhiasan, mobil, dan dihamburkan kepada 25 perempuan, meski ia sudah memiliki enam istri.
Skandal ini memicu amarah publik. Di tengah inflasi yang melonjak dan harga pangan melambung tinggi, rakyat hidup dalam kesusahan, sementara pejabat negara justru berfoya-foya dari hasil korupsi.
Kasus JMD diadili mulai 30 Agustus 1966. Persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim Made Labde dan selalu dipadati masyarakat. Harian Mertjusuar (3 September 1966) mencatat, ruang sidang kerap gaduh dengan sorakan, terutama ketika JMD membantah tuduhan.
Dalam satu kesempatan, ia bahkan berkelit soal kehidupan pribadinya dengan kalimat kontroversial:
“Bapak hakim tentunya mengerti mengapa saya keburu kawin sampai enam kali, setelah melihat istri-istri saya yang wajahnya cantik ini.”
Akhirnya, pada 8 Agustus 1966, majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman mati. Selain itu, semua harta benda berupa enam rumah, empat mobil mewah, tanah, dan aset lain disita negara.
Hakim menilai, selain kerugian miliaran rupiah, latar belakang politik JMD yang dinilai dekat dengan komunis ikut memperberat hukuman.
Vonis mati ini menimbulkan geger. Ketua PBNU kala itu, KH Moch Dahlan, bahkan menyebut hukuman tersebut terlalu ringan.
“Hukuman mati bagi JMD semestinya tidak cukup satu kali, tapi tiga kali atau dengan dikerek ke tiang gantung di muka khalayak ramai,” ujarnya pedas.
JMD sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 1967, namun ditolak. Vonis mati tetap dikuatkan.
Namun eksekusi tak pernah terlaksana. Pada September 1976, JMD meninggal di penjara akibat tetanus sebelum menghadapi regu tembak.
Kasus Jusuf Muda Dalam menjadi simbol kelam penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia. Hingga kini, ia tetap tercatat sebagai koruptor pertama dan satu-satunya yang divonis mati.
Perbandingan dengan kasus-kasus korupsi modern, termasuk Noel, menunjukkan bahwa meski hukuman berat pernah dijatuhkan, eksekusi mati tidak pernah benar-benar dilakukan. Fakta ini kerap memunculkan perdebatan publik tentang efektivitas hukum dalam memberikan efek jera bagi para koruptor di Indonesia.
(Redaksi)