IDENESIA.CO - Lebih dari 130 tahun sejak digambarkan di atas kertas, Durand Line atau Garis Durand merupakan perbatasan sepanjang 2.640 kilometer antara Afghanistan dan Pakistan yang masih menjadi sumber sengketa geopolitik yang tak kunjung reda. Garis yang ditetapkan oleh Inggris pada 1893 itu bukan sekadar batas wilayah, melainkan simbol warisan kolonial yang memisahkan bangsa-bangsa serumpun hingga hari ini.
Menurut Encyclopaedia Britannica, Durand Line ditetapkan pada 12 November 1893 lewat perjanjian antara Amir Afghanistan Abdur Rahman Khan dan Sir Henry Mortimer Durand, Menteri Luar Negeri India Britania kala itu.
Tujuan resmi perjanjian ini adalah untuk menetapkan batas antara wilayah kekuasaan Afghanistan dan India Britania, namun dalam praktiknya garis ini membelah komunitas Pashtun dan Baloch yang selama berabad-abad hidup dalam kesatuan budaya dan kekerabatan.
Kesepakatan tersebut dibuat di tengah rivalitas geopolitik antara Inggris dan Rusia yang dikenal sebagai The Great Game. Inggris menginginkan batas yang jelas untuk mencegah ekspansi Rusia ke selatan, sementara Afghanistan, yang menjadi negara penyangga, berada dalam posisi tawar yang lemah.
Sejarawan Shah Meer Baloch dalam tulisannya di The Diplomat (2017) menulis bahwa Garis Durand “tidak pernah diakui oleh rakyat Afghanistan karena dianggap hasil tekanan politik kolonial.” Ia juga menegaskan bahwa garis ini “memecah komunitas Pashtun dan Baloch yang memiliki kesamaan sejarah dan identitas.”
Perbatasan buatan Inggris ini berdampak langsung pada suku Pashtun yang kini terbagi antara dua negara. Yaitu sekitar separuh tinggal di wilayah barat Pakistan (terutama di Khyber Pakhtunkhwa dan Balochistan), sementara sisanya berada di Afghanistan timur.
Sebagaimana dicatat oleh BBC Monitoring (2022), banyak keluarga yang hingga kini masih memiliki hubungan darah di dua sisi perbatasan, namun terpisahkan oleh kebijakan visa dan pagar keamanan yang dibangun Pakistan.
Bagi masyarakat setempat, Durand Line bukan sekadar batas geopolitik, tetapi juga luka sejarah.
“Garis ini dibuat tanpa mempertimbangkan etnis atau sejarah sosial,” tulis Al Jazeera dalam laporan analisisnya (2021). “Ia menandai upaya Inggris untuk mengontrol wilayah, bukan untuk mempersatukan masyarakatnya.”
Ketika Pakistan merdeka pada 1947, negara baru itu mewarisi Durand Line sebagai batas resmi dengan Afghanistan. Namun sejak awal, Kabul menolak mengakuinya sebagai perbatasan internasional.
Pada 1949, Majelis Nasional Afghanistan bahkan secara resmi membatalkan semua perjanjian yang pernah ditandatangani dengan Inggris, termasuk kesepakatan Durand.
Penolakan itu didasari pandangan bahwa perjanjian 1893 bersifat personal, berlaku hanya selama masa pemerintahan Amir Abdur Rahman Khan, dan tidak mengikat secara permanen.
Sementara Pakistan menegaskan bahwa perjanjian tersebut bersifat mengikat secara hukum internasional, karena merupakan perjanjian antara dua entitas berdaulat.
Perbedaan tafsir ini membuat Durand Line tetap menjadi titik rawan dalam hubungan kedua negara hingga kini. Bahkan, menurut laporan Dawn News (Pakistan, 2023), bentrokan di wilayah perbatasan seperti Chaman dan Spin Boldak kerap terjadi karena patroli militer kedua negara saling menuduh pelanggaran wilayah.
Sejak 2017, Pakistan membangun pagar pembatas baja sepanjang ribuan kilometer di sepanjang Durand Line dengan alasan keamanan dan pencegahan infiltrasi militan. Namun, Kabul termasuk di bawah pemerintahan Taliban saat ini nmenyebut langkah itu sebagai “pelanggaran kedaulatan.”
Al Jazeera (2022) mencatat, bentrokan di perbatasan meningkat sejak Taliban kembali berkuasa, terutama di wilayah Spin Boldak–Chaman dan Khost–Kurram.
Taliban menilai pembangunan pagar tersebut melanggar kesepakatan adat antara masyarakat perbatasan yang selama ini bebas melintas untuk berdagang dan berinteraksi sosial.
Bagi para pengamat politik Asia Selatan, konflik seputar Durand Line merupakan contoh klasik bagaimana garis buatan kolonial masih mempengaruhi geopolitik modern.
Dalam analisis The Diplomat (2021), garis ini disebut sebagai “warisan kolonial paling berbahaya di Asia Selatan” karena tidak hanya menimbulkan sengketa politik, tetapi juga memicu ketegangan etnis di kedua sisi.
“The Durand Line remains a colonial scar that continues to bleed,” tulis Shah Meer Baloch dalam artikelnya.
Lebih dari satu abad setelah pena Mortimer Durand mengguratkan batas itu di peta, konsekuensinya masih terasa hingga kini dari ledakan senjata di perbatasan hingga debat diplomatik di meja PBB.
Durand Line bukan sekadar batas wilayah. Ia adalah simbol ketidakadilan sejarah, keretakan sosial, dan politik kolonial yang masih hidup di jantung Asia Selatan.
Selama belum ada kesepakatan bersama antara Kabul dan Islamabad, garis ini akan terus menjadi sumber konflik dan ketidakpercayaan dan setiap pertempuran di Spin Boldak atau Chaman hanyalah gema dari sejarah yang belum selesai sejak 1893.
(Redaksi)