IDENESIA.CO - Pemerintah dan DPR RI resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu poin paling penting dalam undang-undang tersebut adalah larangan rangkap jabatan bagi Menteri dan Wakil Menteri (Wamen) sebagai organ perusahaan pelat merah, baik sebagai komisaris maupun direksi.
Larangan ini menjadi langkah lanjutan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada 28 Agustus 2025, di mana MK menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan tidak hanya berlaku untuk menteri, tetapi juga wakil menteri.
“Ketentuan mengenai rangkap jabatan menteri dan wakil menteri sebagai organ BUMN berlaku paling lama dua tahun terhitung sejak Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan,” tulis Pasal II ayat (2) UU No. 16 Tahun 2025 yang diundangkan pada 6 Oktober 2025.
Dengan demikian, para pejabat yang masih merangkap jabatan di BUMN diberikan waktu hingga 28 Agustus 2027 untuk melakukan penyesuaian dan melepaskan salah satu jabatan.
Kebijakan masa transisi dua tahun ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan jabatan mendadak di berbagai posisi strategis BUMN yang saat ini masih ditempati oleh sejumlah menteri dan wakil menteri.
Pemerintah menilai, waktu dua tahun cukup untuk melakukan restrukturisasi jabatan, menyusun regulasi pelaksana, dan menyiapkan pengganti dari kalangan profesional agar tidak mengganggu roda pengelolaan BUMN.
Keputusan ini juga sekaligus menjawab polemik publik yang selama ini mempertanyakan konflik kepentingan antara pejabat eksekutif yang juga menjabat di perusahaan milik negara.
Perubahan regulasi ini tidak datang tiba-tiba. Dorongan revisi muncul setelah dua warga negara, Viktor Santoso Tandiasa dan Didi Supandi, mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka menilai, pemerintah selama ini melanggar prinsip larangan rangkap jabatan dengan tetap menunjuk sejumlah wakil menteri menjadi komisaris di BUMN, padahal sudah ada putusan MK sebelumnya yang melarang praktik serupa untuk jabatan menteri.
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon I untuk sebagian,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di ruang sidang pleno MK, Kamis (28/8/2025).
MK menegaskan, jabatan wakil menteri termasuk dalam struktur pemerintahan yang melekat pada tanggung jawab pengawasan dan kebijakan publik. Oleh karena itu, jika pejabat tersebut juga menjabat di BUMN, maka potensi konflik kepentingan sangat tinggi, terutama dalam hal pengawasan dan keputusan investasi yang melibatkan kementerian teknis.
Ketua Komisi VI DPR RI, Aria Bima, yang membidangi urusan BUMN, menyebut larangan rangkap jabatan ini sebagai langkah penting untuk memperkuat profesionalisme dan independensi pengelolaan BUMN.
“BUMN harus dikelola secara profesional. Ketika jabatan komisaris atau direksi diisi oleh menteri atau wakil menteri, potensi konflik kepentingannya besar sekali,” ujar Aria.
Selama bertahun-tahun, jabatan komisaris di BUMN memang sering diisi oleh pejabat aktif di pemerintahan. Hal ini menimbulkan kritik publik karena dianggap menumpulkan fungsi pengawasan dan menciptakan ketergantungan politik dalam kebijakan korporasi negara.
Dengan diberlakukannya UU No. 16 Tahun 2025, praktik tersebut resmi dihentikan. Siapa pun yang menjabat sebagai menteri atau wakil menteri tidak lagi diperbolehkan menjadi komisaris atau direksi BUMN setelah masa transisi berakhir.
Walaupun dalam undang-undang baru ini belum dicantumkan sanksi pidana atau administratif secara eksplisit, sejumlah pakar hukum menilai pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat digugat secara hukum.
Ahli hukum tata negara Prof. Zainal Arifin Mochtar menilai, setelah masa transisi dua tahun berakhir, pejabat yang masih merangkap jabatan dapat dinyatakan cacat hukum.
“Kalau sudah lewat masa dua tahun dan masih ada pejabat rangkap jabatan, maka keabsahan jabatannya bisa digugat. Ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga pelanggaran hukum,” tegas Zainal.
Ia menambahkan bahwa pemerintah harus segera menyusun peraturan turunan untuk mengatur mekanisme pengawasan dan pelaporan rangkap jabatan agar UU ini benar-benar efektif dan tidak sekadar menjadi simbol reformasi birokrasi.
Pengesahan UU ini dianggap sebagai tonggak baru reformasi tata kelola perusahaan negara. Pemerintah dan DPR berharap langkah ini dapat memperkuat prinsip good corporate governance dan pemisahan fungsi eksekutif dari bisnis negara.
Dengan berakhirnya era rangkap jabatan, posisi komisaris dan direksi diharapkan lebih banyak diisi oleh kalangan profesional independen yang memiliki kompetensi, bukan karena kedekatan politik.
“Dengan masa transisi yang cukup panjang, diharapkan para pejabat bisa menyesuaikan diri dan mendukung sistem pengelolaan BUMN yang lebih transparan, profesional, dan bebas dari konflik kepentingan,” ujar seorang pejabat Kementerian BUMN.
Pemerintah kini dituntut untuk bertindak cepat dalam menyusun regulasi pelaksana, menyiapkan struktur kelembagaan baru, serta memastikan proses transisi berjalan lancar sebelum tenggat waktu Agustus 2027.
(Redaksi)