IDENESIA.CO - Upaya untuk mengakhiri perang dua tahun di Gaza kembali memasuki babak penting. Dalam perundingan tidak langsung yang digelar di Sharm el-Sheikh, Mesir, kelompok Hamas menyatakan kesediaannya untuk mencapai kesepakatan damai dengan Israel namun menegaskan sejumlah tuntutan yang menjadi syarat utama, termasuk penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh pejabat senior Hamas, Fawzi Barhoum, bertepatan dengan peringatan dua tahun serangan 7 Oktober 2023 yang memicu konflik besar di Gaza. Dalam serangan itu, sekitar 1.200 warga Israel tewas dan 251 orang disandera, sementara lebih dari 67.000 warga Palestina dilaporkan meninggal akibat serangan balasan Israel selama dua tahun terakhir.
“Delegasi Hamas yang berpartisipasi dalam negosiasi di Mesir sedang berupaya mengatasi semua hambatan untuk mencapai kesepakatan yang memenuhi aspirasi rakyat kami di Gaza,” ujar Barhoum dalam pernyataan yang disiarkan televisi, dikutip dari Reuters, Selasa (7/10).
Menurut Barhoum, Hamas hanya akan menyetujui kesepakatan damai jika memenuhi tiga poin utama:
Gencatan senjata permanen dan komprehensif di seluruh Jalur Gaza,
Penarikan total pasukan Israel dari wilayah tersebut, dan
Dimulainya rekonstruksi Gaza di bawah pengawasan badan teknokratis nasional Palestina.
Hamas menilai langkah tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan jutaan warga sipil di Gaza dan memulihkan kehidupan masyarakat setelah kehancuran besar akibat konflik berkepanjangan.
Namun, tuntutan itu bertentangan langsung dengan posisi Israel, yang menegaskan tidak akan menarik pasukannya sebelum Hamas melucuti seluruh senjatanya syarat yang hingga kini ditolak keras oleh kelompok tersebut.
“Kesepakatan harus memastikan berakhirnya perang dan penarikan penuh Israel dari Jalur Gaza syarat yang tidak pernah diterima Israel,” kata Barhoum.
Negosiasi di Sharm el-Sheikh diikuti oleh perwakilan dari Amerika Serikat, Mesir, Qatar, dan Israel, dengan dukungan PBB. Meski disebut sebagai upaya paling menjanjikan sejauh ini, para pejabat dari semua pihak menyerukan kehati-hatian karena banyak isu krusial yang belum disepakati.
Pihak Amerika Serikat berupaya memfokuskan pembahasan pada penghentian pertempuran dan mekanisme pembebasan sandera. Sementara itu, Qatar, yang juga bertindak sebagai mediator, menegaskan bahwa banyak detail teknis masih belum terselesaikan, sehingga kecil kemungkinan kesepakatan akan tercapai dalam waktu dekat.
“Proses ini panjang dan sensitif. Semua pihak harus menahan diri dan menunjukkan itikad baik,” ujar seorang diplomat Mesir yang terlibat dalam proses negosiasi.
Meski perundingan berlangsung, serangan udara dan artileri Israel ke Jalur Gaza belum berhenti. Pemerintah Israel menegaskan operasi militer tetap berjalan selama Hamas belum menyerahkan senjata dan sandera.
Sikap keras ini semakin meningkatkan tekanan diplomatik terhadap Tel Aviv di kancah internasional, di tengah protes besar-besaran pro-Palestina yang terus berlangsung di berbagai negara.
Di sisi lain, rakyat Gaza menanggung penderitaan terburuk dalam sejarah modern wilayah itu. Menurut laporan organisasi kemanusiaan, sebagian besar wilayah Gaza kini hancur, jutaan orang mengungsi berkali-kali, dan akses terhadap pangan, air bersih, serta obat-obatan semakin terbatas.
“Sudah dua tahun kami hidup dalam ketakutan, kengerian, pengungsian, dan kehancuran,” kata Mohammed Dib, warga Gaza berusia 49 tahun.
“Kami hanya ingin perang ini berakhir.”
Di Israel, peringatan dua tahun serangan Hamas menjadi momen penuh duka. Ratusan keluarga korban mengunjungi lokasi tragedi, termasuk Festival Musik Nova di Israel selatan tempat 364 orang tewas dibunuh pada 7 Oktober 2023.
Salah satunya, Orit Baron, berdiri di lokasi kejadian sambil menatap foto putrinya, Yuval, dan tunangannya, Moshe Shuva, yang tewas bersama pada hari itu.
“Mereka seharusnya menikah pada 14 Februari, Hari Valentine. Karena mereka ditemukan bersama, kami memakamkan mereka berdampingan. Mereka tidak pernah terpisah,” ujarnya lirih.
Israel berharap perundingan di Mesir dapat segera menghasilkan pembebasan 48 sandera yang masih ditahan Hamas, 20 di antaranya diyakini masih hidup.
Namun, hingga kini belum ada sinyal konkret kapan kesepakatan akan tercapai.
“Rasanya seperti luka yang belum tertutup. Dua tahun sudah berlalu, tapi mereka masih belum pulang,” kata Hilda Weisthal, warga Israel berusia 43 tahun.
Perundingan di Mesir menjadi cahaya kecil di tengah gelapnya perang Gaza. Meskipun jalan menuju kesepakatan tampak panjang dan berliku, para mediator internasional menilai bahwa dialog ini tetap menjadi satu-satunya harapan realistis untuk mengakhiri konflik yang telah menelan begitu banyak korban di kedua belah pihak.
“Kami ingin damai, tapi damai yang adil dan bermartabat,” ujar Fawzi Barhoum menutup pernyataannya.
(Redaksi)