IDENESIA.CO - Hingga saat ini, naskah final Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis (20/3/2025) belum tersedia di situs resmi DPR.
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Biro Hukum dan Dumas Sekjen DPR masih belum menampilkan dokumen UU TNI yang telah disahkan.
Hal ini berbeda dengan UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang telah lebih dulu diunggah meskipun juga disahkan pada tahun yang sama.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai transparansi proses legislasi, terutama mengingat revisi UU TNI menuai banyak kritik dari masyarakat sipil.
Sejumlah pasal dalam revisi tersebut dianggap berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI, seperti pada era Orde Baru, dengan perluasan peran prajurit aktif di kementerian/lembaga sipil serta penambahan masa pensiun prajurit.
Absennya naskah final UU TNI di situs resmi DPR menimbulkan spekulasi bahwa ada upaya untuk menunda atau membatasi akses publik terhadap isi regulasi yang telah disahkan.
Padahal, menurut Pasal 20 ayat 4 UUD 1945, presiden memiliki kewajiban untuk mengesahkan UU yang telah disepakati bersama dengan DPR. Jika dalam 30 hari presiden tidak mengesahkannya, UU tersebut tetap sah dan wajib diundangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat 5 UUD 1945. Situasi ini semakin memicu kecurigaan di tengah gelombang penolakan terhadap revisi UU TNI.
Sejumlah aksi unjuk rasa besar telah terjadi di berbagai kota sebagai bentuk penolakan terhadap pasal-pasal yang dinilai mengancam supremasi sipil atas militer.
Selain itu, gugatan terhadap UU ini juga telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) hanya beberapa hari setelah disahkan.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan serta Ketua Komisi I DPR RI membantah bahwa revisi UU TNI akan menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
Mereka menegaskan bahwa UU ini tetap menjunjung supremasi sipil atas militer dan justru bertujuan untuk memperkuat peran TNI dalam menjaga kedaulatan negara.
Meski demikian, desakan agar naskah final UU TNI segera dipublikasikan terus bergema. Transparansi menjadi sorotan utama, terutama karena keterlambatan ini berpotensi memperkeruh polemik yang sudah ada.
(Redaksi)