IDENESIA.CO - Gelombang pengakuan terhadap kedaulatan negara Palestina kembali mencuat di panggung global. Pasca-konflik di Gaza yang semakin memburuk, setidaknya sembilan negara, mayoritas dari Eropa, secara serentak mengumumkan dukungan diplomatik mereka. Langkah ini, yang disuarakan dalam sesi Majelis Umum PBB, dipandang sebagai upaya kolektif untuk menekan Israel dan menghidupkan kembali perundingan damai yang telah lama terhenti.
Aksi ini semakin membuat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, terpojok. Para pemimpin dari negara-negara ini berpendapat bahwa pengakuan tersebut bukan dimaksudkan untuk menentang Israel, melainkan untuk memperkuat posisi moderat di Palestina dan membuka jalan menuju solusi dua negara.
1. Prancis
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menyatakan pengakuan ini adalah langkah esensial untuk mengakhiri kekerasan dan memberikan harapan baru. Ia menekankan bahwa ini adalah upaya untuk menciptakan perdamaian yang adil dan berkelanjutan, bukan untuk melawan Israel. Macron juga menuntut reformasi Otoritas Palestina dan diakhirinya pendudukan Israel di wilayah Palestina.
2. Inggris
Pemerintah Inggris mengumumkan pengakuan sebagai bagian dari upaya terkoordinasi dengan sekutu internasional. Langkah ini diharapkan dapat menghidupkan kembali proses perdamaian, terutama sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan di Gaza. Inggris menegaskan kembali komitmennya terhadap solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian abadi.
3. Kanada
Mirip dengan Inggris, Kanada mengumumkan pengakuannya untuk mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat Palestina. Pemerintah Kanada menegaskan bahwa langkah ini sejalan dengan hukum internasional dan kebijakan lama mereka yang mendukung solusi dua negara, tanpa mengurangi komitmen terhadap keamanan Israel.
4. Australia
Pemerintah Australia menyatakan bahwa mengakui Palestina akan menyamakan kedudukan dalam negosiasi dengan Israel. Langkah ini dianggap sebagai kontribusi praktis untuk perdamaian dan bertujuan memperkuat suara moderat Palestina. Australia juga menyuarakan keprihatinan atas perluasan permukiman Israel yang dianggap menghambat perdamaian.
5. Luksemburg
Perdana Menteri Luksemburg, Luc Frieden, menjelaskan bahwa keputusan ini didasari oleh penolakan Netanyahu terhadap solusi dua negara. Frieden menekankan bahwa tujuan negaranya adalah agar Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan dalam damai, dan pengakuan ini adalah cara untuk memberikan kesempatan kedua bagi solusi dua negara.
6. Malta
Dalam pidatonya di PBB, Perdana Menteri Malta, Robert Abela, menegaskan bahwa kedalaman tragedi saat ini harus mendorong dunia untuk tidak menyerah. Sikap Malta mencerminkan dukungan lama mereka terhadap perjuangan Palestina dan solusi dua negara.
7. Andorra
Menteri Luar Negeri Andorra, Imma Tor Faus, menyatakan waktunya telah tiba untuk menyelesaikan masalah Palestina melalui solusi dua negara. Pemerintahannya sedang dalam proses untuk segera mengakui negara Palestina, selaras dengan langkah negara-negara Eropa lainnya.
8. Monako
Pangeran Albert II dari Monako mengumumkan pengakuan negaranya terhadap Palestina berdasarkan hukum internasional. Meski menegaskan dukungan tak tergoyahkan terhadap keberadaan Israel, Monako berupaya mendukung solusi yang seimbang dan berkelanjutan.
9. Belgia
Perdana Menteri Belgia, Bart De Wever, menyatakan pengakuan ini sebagai sinyal politik dan diplomatik yang kuat. Namun, ia memberikan syarat bahwa pengakuan hukum penuh akan dilanjutkan setelah semua sandera dibebaskan dan organisasi teroris seperti Hamas disingkirkan dari pemerintahan Palestina.
"Pelaksanaan hubungan diplomatik yang efektif dengan negara baru Palestina, termasuk pembukaan kedutaan Belgia dan penyelesaian perjanjian internasional, akan dilaksanakan setelah tujuan Deklarasi New York tercapai," tambah De Wever.
Langkah diplomatik kolektif ini menandai pergeseran signifikan dalam dinamika hubungan internasional terkait konflik Israel-Palestina. Meskipun pengakuan ini tidak secara langsung menghentikan konflik, para pendukungnya berharap hal ini akan mendorong perubahan kebijakan dan membawa kedua belah pihak kembali ke meja perundingan.
(Redaksi)