IDENESIA.CO - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti fenomena ironis di tengah perlambatan ekonomi daerah alih-alih menggerakkan pembangunan, sebagian besar pemerintah daerah justru menumpuk dana dalam jumlah fantastis di perbankan. Hingga akhir September 2025, total dana pemerintah daerah (pemda) yang tersimpan di bank mencapai Rp234 triliun, naik signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Realisasi belanja APBD sampai dengan triwulan ketiga tahun ini masih melambat. Rendahnya serapan tersebut berakibat menambah simpanan uang pemda yang nganggur di bank sampai Rp234 triliun. Jadi jelas ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi,” ujar Purbaya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2025, yang digelar di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Purbaya menjelaskan bahwa pemerintah pusat telah menyalurkan dana ke daerah secara penuh dan tepat waktu. Hingga kuartal III-2025, realisasi transfer ke daerah (TKD) tercatat Rp644,9 triliun atau 74,2 persen dari pagu anggaran nasional. Dana itu, katanya, semestinya sudah siap digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan prioritas.
Namun, data menunjukkan banyak daerah belum maksimal mengeksekusi belanja, sehingga uang justru mengendap di rekening bank.
“Pesan saya sederhana, dananya sudah ada, segera gunakan. Jangan tunggu akhir tahun. Gunakan untuk pembangunan yang produktif dan bermanfaat langsung bagi masyarakat,” tegas Purbaya.
Menurutnya, lambatnya serapan anggaran menghambat laju perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal. Padahal, ketika anggaran daerah bekerja efektif melalui pembangunan jalan, jembatan, fasilitas pendidikan dan kesehatan dampaknya akan langsung terasa pada penciptaan lapangan kerja dan pengendalian inflasi daerah.
Lebih lanjut, Purbaya mengkritik praktik sebagian pemda yang memilih menempatkan kas daerah di bank-bank besar di Jakarta, bukan di bank daerah. Menurutnya, keputusan semacam itu justru mengeringkan likuiditas ekonomi di wilayah sendiri.
“Itu kan daerahnya uangnya enggak ada, barangnya enggak bisa muter tuh, enggak bisa minjemkan di sana. Harusnya walaupun enggak dibelanjakan, biar aja uangnya di daerah,” ujarnya.
Praktik ini dianggap kontraproduktif terhadap semangat desentralisasi fiskal yang seharusnya memperkuat otonomi dan kemandirian ekonomi daerah. Dana yang parkir di luar wilayah membuat bank daerah kekurangan likuiditas untuk menyalurkan kredit produktif, sementara sektor riil seperti UMKM dan pertanian sulit mendapatkan akses pembiayaan.
Purbaya juga mengungkap adanya selisih data sebesar Rp18 triliun antara catatan kas pemda dan laporan milik Bank Indonesia (BI). Ia menegaskan agar perbedaan itu segera ditelusuri secara transparan dan akurat.
“Kalau di pemda kurang Rp18 triliun, mungkin pemda kurang teliti itu yang nulisnya. Kalau BI itu pasti sudah di sistem semuanya, jadi itu mesti diinvestigasi itu ke mana yang selisih Rp18 triliun itu,” katanya.
Pemerintah akan melibatkan BI dan Kementerian Dalam Negeri untuk menelusuri ketidaksesuaian tersebut. Temuan ini menegaskan pentingnya integrasi sistem pelaporan keuangan daerah agar setiap rupiah anggaran publik bisa dipantau secara real-time dan akuntabel.
Dalam kesempatan itu, Purbaya juga mengingatkan bahwa dana publik bukan instrumen untuk mencari keuntungan bunga deposito. Pemerintah daerah, katanya, harus memastikan seluruh kas daerah bekerja bagi perekonomian lokal, bukan sekadar mengendap di bank.
“Kelola dana pemda di bank dengan bijak. Simpan secukupnya untuk kebutuhan rutin, tapi jangan biarkan uang tidur. Uang itu harus kerja bantu ekonomi daerah,” ujarnya menegaskan.
Ia juga meminta para kepala daerah untuk mempercepat realisasi belanja produktif seperti proyek infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan program pengendalian inflasi daerah yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat.
Menurut data Bank Indonesia per 15 Oktober 2025, berikut 15 daerah yang memiliki simpanan tertinggi di perbankan per September 2025:
Provinsi DKI Jakarta – Rp14,68 triliun
Provinsi Jawa Timur – Rp6,84 triliun
Kota Banjarbaru – Rp5,17 triliun
Provinsi Kalimantan Utara – Rp4,71 triliun
Provinsi Jawa Barat – Rp4,17 triliun
Kabupaten Bojonegoro – Rp3,61 triliun
Kabupaten Kutai Barat – Rp3,21 triliun
Provinsi Sumatera Utara – Rp3,11 triliun
Kabupaten Kepulauan Talaud – Rp2,62 triliun
Kabupaten Mimika – Rp2,49 triliun
Kabupaten Badung – Rp2,27 triliun
Kabupaten Tanah Bumbu – Rp2,11 triliun
Provinsi Bangka Belitung – Rp2,10 triliun
Provinsi Jawa Tengah – Rp1,99 triliun
Kabupaten Balangan – Rp1,86 triliun
Daerah-daerah dengan simpanan besar ini dinilai memiliki potensi ekonomi tinggi, namun belum sepenuhnya menggerakkan anggarannya untuk pembangunan konkret.
Fenomena penumpukan dana ini kembali menegaskan perlunya reformasi manajemen kas daerah. Pemerintah pusat mendorong penggunaan instrumen digital seperti Kas Daerah Online (KAD) agar setiap transaksi anggaran dapat dipantau secara langsung.
Selain itu, Purbaya mengingatkan, percepatan realisasi anggaran juga menjadi kunci pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kalau uang ini bergerak, ekonomi akan lebih kuat. Tapi kalau hanya parkir di bank, kita semua rugi,” pungkasnya.
(Redaksi)