IMG-LOGO
Home Internasional Gelombang Krisis Hantam Industri Kuliner Singapura, Ribuan Restoran Legendaris Gulung Tikar
internasional | umum

Gelombang Krisis Hantam Industri Kuliner Singapura, Ribuan Restoran Legendaris Gulung Tikar

oleh VNS - 22 September 2025 11:04 WITA
IMG
Gelombang penutupan bisnis kuliner di Singapura yang semakin mengkhawatirkan. Foto:Ist

IDENESIA.CO - Singapura tengah menghadapi krisis serius di sektor kuliner. Sepanjang tahun lalu, lebih dari 3.000 bisnis makanan dan minuman (F&B) resmi menutup operasional, setara dengan rata-rata 250 restoran gulung tikar setiap bulan. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam hampir dua dekade terakhir dan menimbulkan keprihatinan luas.

Menurut laporan Channel News Asia (CNA), Minggu (21/9/2025), fenomena ini tidak hanya menimpa restoran baru, tetapi juga usaha-usaha kuliner legendaris yang sudah berdiri puluhan tahun. Salah satunya adalah Ka-Soh, restoran Kanton berusia 86 tahun yang terkenal dengan sup ikan khasnya. Pada 28 September mendatang, Ka-Soh dijadwalkan menyajikan mangkuk sup ikan terakhir mereka.

Cedric Tang, pemilik generasi ketiga Ka-Soh, mengaku pasrah.

“Kalah. Setelah bekerja keras selama bertahun-tahun, kami akhirnya sudah cukup,” ungkapnya. 

Ia menegaskan, menaikkan harga bukanlah pilihan karena Ka-Soh merupakan restoran warisan yang ingin tetap terjangkau bagi pelanggan setia.

Ka-Soh bukan satu-satunya yang menyerah. Pada Juli 2025, tercatat 320 restoran tutup, termasuk Burp Kitchen & Bar, restoran keluarga populer. Sebulan berikutnya, Prive Group bahkan menutup seluruh gerai pada 31 Agustus, menjadikan bulan tersebut sebagai periode dengan 360 penutupan restoran.

“Bahkan restoran yang paling sehat pun tidak bisa bertahan,” kata Chua Ee Chien, mantan pemilik restoran, sembari menyoroti bahwa dua restoran dengan bintang Michelin juga ikut gulung tikar.

Faktor utama penyebab kebangkrutan ini adalah kenaikan biaya sewa. Menurut Terence Yow, Ketua Singapore Tenants United for Fairness (SGTUFF), sebagian besar penyewa melaporkan kenaikan sewa hingga 20-49 persen.

“Ini belum pernah terjadi dalam 15-20 tahun terakhir,” tegasnya.

Situasi makin pelik karena rumah toko (ruko) kini jadi incaran investor lokal dan asing. Ethan Hsu dari Knight Frank Singapura menjelaskan, biaya konstruksi naik 30 persen, sedangkan biaya pemeliharaan minimal naik 10 persen. Tekanan pada pemilik properti membuat ekspektasi imbal hasil sewa melambung tinggi.

Selain sewa, krisis tenaga kerja juga memperparah kondisi. Restoran besar menggandakan gaji normal demi merekrut juru masak, sementara restoran kecil seperti Burp Kitchen hanya bisa bertahan sebentar meski sudah menaikkan gaji dan memangkas jam kerja.

Di sisi lain, perilaku konsumen berubah drastis. Ronald Chye, pemilik Burp Kitchen, mengungkapkan bahwa frekuensi makan pelanggan turun signifikan. 

“Dulu tiga hingga empat kali seminggu, sekarang mungkin sebulan sekali,” tambah istrinya, Sarah Lim.

Data Badan Pusat Statistik Singapura (Juni 2025) menunjukkan omzet restoran turun 5,6 persen, sementara katering dan gerai cepat saji justru meningkat.

Di tengah krisis, beberapa kafe kecil berusaha bertahan dengan strategi digital. Marie’s Lapis Cafe di Bedok North, misalnya, berhasil meningkatkan penjualan 30-40 persen setelah memanfaatkan video promosi di media sosial dengan bantuan konsultan kreatif. Namun, strategi ini disebut hanya solusi sementara, karena masalah struktural seperti sewa dan tenaga kerja tetap menjadi tantangan utama.

Asosiasi Restoran Singapura telah memperingatkan pemerintah sejak Maret 2025 soal krisis tenaga kerja dan meminta revisi kuota pekerja asing. Anggota parlemen sekaligus mantan pengusaha F&B, Edward Chia, mendorong pemerintah membantu usaha kecil beradaptasi dengan peningkatan produktivitas menggunakan teknologi serta dukungan sumber daya manusia.

Sementara itu, kelompok penyewa seperti SGTUFF mendesak adanya aturan batas kenaikan sewa agar tidak melampaui inflasi atau pertumbuhan PDB.

“Setelah bertahun-tahun membangun usaha, penyewa tidak seharusnya menghadapi kenaikan sewa mendadak hingga 70 persen,” kata Yow.

Dengan 23.600 gerai makanan ritel yang ada di Singapura, persaingan makin ketat. Meski jumlah bisnis baru tetap tinggi (3.800 dibuka tahun lalu), jaringan restoran besar dengan modal kuat cenderung menguasai pasar, menyingkirkan restoran independen kecil.

Krisis yang terjadi saat ini menjadi peringatan serius bagi keberlanjutan industri kuliner Singapura. Jika tak segera ditangani dengan kebijakan yang berpihak pada usaha kecil dan menengah, negeri tetangga ini terancam kehilangan banyak warisan kuliner bersejarah yang menjadi bagian dari identitas budayanya.

(Redaksi)