IDENESIA.CO - Selama bertahun-tahun, Alexander Agustinus Rottie hidup di tengah masyarakat sebagai sosok rohani. Ia dikenal sebagai pendeta yang sederhana dan aktif dalam pelayanan di wilayah Minahasa, Sulawesi Utara. Namun siapa sangka, pria 52 tahun itu ternyata adalah buronan kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur, yang telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung sejak 2017.
Identitas aslinya terbongkar setelah aparat kejaksaan menangkapnya saat sedang makan siang di sebuah rumah makan di kawasan Teling Atas, Manado, pada Selasa (10/6/2025). Penangkapan dilakukan secara senyap oleh tim gabungan Satgas Tangkap Buronan (Tabur) atau SIRI Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, dan Kejaksaan Negeri Samarinda.
“Kami sudah memburunya sejak putusan kasasi turun, tapi dia menghilang. Baru tahun ini posisinya bisa dipastikan,” ujar Kepala Kejari Samarinda, Firmansyah Subhan, saat konferensi pers, Rabu (11/6).
Selama pelariannya, Alexander diduga berpindah-pindah dari Berau (Kalimantan Timur), Manokwari (Papua Barat), hingga menetap di Minahasa, Sulawesi Utara. Ia membaur dengan lingkungan gereja, memperkenalkan diri sebagai pelayan Tuhan. Status rohaniawan ini membuatnya tak dicurigai, bahkan oleh warga sekitar.
Menurut kejaksaan, Alexander diduga sempat mengubah identitas administrasi seperti KTP untuk menghindari pelacakan.
“Sempat sulit karena ia terus berpindah-pindah. Bahkan sempat mengubah KTP-nya,” jelas Firmansyah.
Namun aparat tidak menyerah. Pelacakan digital dan informasi dari berbagai sumber akhirnya mengerucutkan lokasi persembunyian Alexander. Kejaksaan kemudian menyusun rencana penangkapan diam-diam, hingga pria itu berhasil diamankan tanpa perlawanan.
Alexander awalnya diadili pada 2016 di Pengadilan Negeri Samarinda atas dakwaan melakukan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur. Kala itu, ia dinyatakan bebas murni oleh majelis hakim. Namun, pihak Kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Pada 2017, MA mengabulkan kasasi dan menyatakan Alexander bersalah melakukan persetubuhan terhadap anak melalui bujuk rayu dan tipu daya. Ia dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp60 juta, dengan tambahan dua bulan kurungan jika denda tidak dibayar. Sayangnya, saat proses eksekusi akan dijalankan, Alexander sudah menghilang.
Meski status hukumnya telah final, Alexander tetap bersikukuh tak bersalah. Di hadapan media usai penangkapannya, ia menyampaikan keberatan atas vonis Mahkamah Agung.
“Saya pikir perkara itu sudah selesai. Saya divonis bebas murni. Tak ada bukti kuat waktu itu. Saya tidak kabur,” ujarnya singkat, sambil menunduk.
Ia bahkan membantah telah mengubah identitas untuk menghindari hukum.
“Saya tidak pernah ubah identitas. Demi Tuhan, saya tidak bersalah,” tegasnya.
Meski demikian, hukum tetap berjalan. Alexander telah dibawa ke Samarinda dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Samarinda untuk menjalani vonis yang seharusnya telah dijalankan sejak delapan tahun lalu.
“Putusan Mahkamah Agung sudah final dan berkekuatan hukum tetap. Upaya eksekusi adalah kewajiban,” tegas Firmansyah.
(Redaksi)