IMG-LOGO
Home Nasional Pengusaha Karaoke Bandungan Keluhkan Kenaikan Tarif Royalti Musik Jadi Rp 15 Juta per Ruangan
nasional | umum

Pengusaha Karaoke Bandungan Keluhkan Kenaikan Tarif Royalti Musik Jadi Rp 15 Juta per Ruangan

oleh VNS - 15 Agustus 2025 12:48 WITA
IMG
Pengelola Citra Dewi Bandungan menunjukan surat somasi terkait royalti Foto:Ist

IDENESIA.CO - Sejumlah pengusaha karaoke di kawasan Bandungan, Kabupaten Semarang, mengeluhkan kenaikan drastis tarif royalti musik yang diberlakukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) melalui Wahana Musik Indonesia (WAMI) Jawa Tengah. Kenaikan yang mencapai lima kali lipat ini membuat beberapa pelaku usaha terbebani tunggakan hingga ratusan juta rupiah.


Salah satu yang terdampak adalah Citra Dewi Karaoke. Pengelolanya, Handika Gusni Rahmulya, mengungkapkan bahwa sebelum pandemi Covid-19, kewajiban royalti per ruangan per tahun hanya sekitar Rp 3 juta. Namun, sejak awal 2025, tarif tersebut melonjak menjadi Rp 15 juta per ruangan.

“Kalau sekarang naiknya jadi Rp 15 juta, sangat memberatkan. Di tahun 2025 ini pajak royaltinya naik sangat signifikan, sementara kondisi perekonomian sedang lesu,” ujar Handika, Kamis (14/8/2025).

Handika menjelaskan, kenaikan tarif ini terjadi secara bertahap. Awalnya, kewajiban royalti hanya Rp 750 ribu per ruangan, lalu naik menjadi Rp 3,6 juta sebelum pandemi, hingga akhirnya mencapai Rp 15 juta per tahun per ruangan. Menurutnya, lonjakan ini terasa tidak masuk akal karena tidak ada penjelasan transparan mengenai metode penghitungannya.

“Nominal Rp 15 juta per room per tahun itu, pengusaha tidak tahu cara penghitungannya dari mana dan bagaimana,” jelasnya.

Persoalan ini sempat dimediasi di Polda Jawa Tengah antara pihak pengusaha dengan perwakilan WAMI. Dalam mediasi tersebut, manajemen Citra Dewi Karaoke akhirnya mencapai kesepakatan untuk membayar dengan nominal yang dinilai lebih masuk akal.

WAMI sendiri mengklasifikasikan usaha karaoke di Bandungan sebagai kategori eksklusif, yang menjadi dasar penetapan tarif tinggi. Namun, Handika menilai klasifikasi ini tidak tepat, sebab usaha karaoke di Bandungan umumnya berskala lokal dan tidak memiliki jangkauan nasional.

“Beban sebesar itu terasa tidak sepadan dan sangat memberatkan bagi kelangsungan bisnis, apalagi kami baru bangkit dari keterpurukan akibat pandemi,” tegasnya.

Handika berharap ke depan LMKN dan WAMI dapat menetapkan tarif royalti yang proporsional agar para pelaku usaha tidak merasa terbebani.

“Pada dasarnya, pengusaha siap untuk memenuhi kewajiban hak cipta, tetapi dengan nominal yang masuk akal,” pungkasnya.

(Redaksi)