IDENESIA.CO - Kontroversi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru disahkan tak hanya menuai gelombang protes dari berbagai daerah, tetapi juga menyoroti dugaan kurangnya transparansi dalam proses pembentukannya.
Sejumlah akademisi dan aktivis menilai bahwa kurangnya partisipasi publik dalam revisi UU ini menjadi faktor utama pemicu penolakan.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menanggapi aksi protes ini dengan meminta masyarakat untuk membaca terlebih dahulu isi UU TNI sebelum menyampaikan penilaian.
"Pertama, ini baru selesai disahkan, kemudian penomorannya pun baru selesai dinomorin. Jadi tolong baca dahulu secara baik-baik isinya, apakah kemudian isinya itu ada yang tidak sesuai, apakah isinya itu kemudian ada yang mencurigakan, apakah isinya itu memang tidak sesuai dengan yang diharapkan," ujar Puan dalam konferensi pers di Senayan, Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Ia juga mengimbau masyarakat untuk menahan diri, terutama di bulan suci Ramadan.
Namun, pernyataan Puan tidak meredam kritik dari berbagai kalangan. Sejumlah pengamat hukum menyoroti minimnya ruang diskusi publik dalam pembentukan UU ini.
"Proses revisi UU TNI ini terkesan terburu-buru dan kurang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Seharusnya, UU yang berdampak besar terhadap demokrasi perlu dibahas lebih inklusif," kata seorang pakar hukum dari Universitas Indonesia.
Tak hanya dalam bentuk demonstrasi, revisi UU TNI ini juga digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Kuasa hukum para pemohon, Abu Rizal Biladina, menyebut bahwa gugatan ini diajukan karena adanya dugaan kecacatan prosedural dalam proses revisi UU TNI.
"Kami melihat ada kecacatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan a quo, sehingga kami menyatakan UU ini inkonstitusional secara formal," kata Rizal di Gedung MK, Jakarta, Jumat (21/3/2025).
(Redaksi)